Thursday, 24 June 2010
Tidak Dikerjakan Nabi saw = Bid'ah?
Sudah mahfum bagi kita bahwa yang dimaksud sunnah atau hadis sebagai sumber syariat adalah apa yang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam katakan, kerjakan, dan tetapkan (diamkan). Klo memakai hitungan sederhana, maka apa yang dikerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hanya meliputi sepertiga dari sunnahnya.
Bbrp waktu lalu, ketika sedang banyak ajakan untuk memperbanyak amal shalih di 10 hari pertama bulan dzulhijjah termasuk puasa, ada yg komentar, "Nabi cuma puasa tanggal 9 dzulhijjah (arafah), ga da itu puasa tgl 1-8".
Padahal kan, hadisnya mengajak tuk memperbanyak amal shalih secara umum. Asy-Syaikh al-Utsaimin dalam Syarah Riyadhush-Shalihin-nya aja menganjurkan tuk memperbanyak puasa kok :)
"Tidak ada hari di mana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun" [HR.al-Bukhari]
Amal shalih scr umum ya puasa, sedekah, dzikir, tilawah dll. Klo dikatakan g ada hadis ttg puasanya Nabi saw dr tgl 1-8 Dzulhijjah, maka bisa dikatakan pula bahwa ga ada hadis ttg Nabi saw memperbanyak sedekah, dzikir, tilawah dll secara khusus di 10 hari tsb. Trus, amal shalih apa yg mau kita perbanyak di 10 hari pertama Dzulhijjah?
Kita juga bisa menemukan kasus-kasus lain yg serupa, misalnya dalam syariat puasa Dawud. Perintahnya jelas, tapi apakah ada hadis yang menceritakan ttg praktik amal tsb oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? Yang mudah ditemukan justru hadis-hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menyukai puasa Senin-Kamis.
Jelaslah bahwa apa yang tidak ditemukan hadis praktiknya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak serta merta menjadi bid'ah. Ini pulalah yang akhirnya menimbulkan perbedaan di kalangan ulama ttg majelis dzikir, misalnya. Hadisnya jelas shahih, namun sebagian ulama menafsirkan majlis dzikir sbg sesuatu yg lain krn tidak ada contoh praktiknya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Sedangkan sebagian ulama lain mengatakan bahwa majlis dzikir memang disunnahkan.
Wallahu a'lam.
Wednesday, 23 June 2010
Dalil-Dalil Zakat Penghasilan?
1. Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan, "ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya".
(Al-Muhalla jilid 4 hlm.84-85)
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas. Riwayat tersebut shahih dari Ibnu Abbas sebagaimana ditegaskan Ibnu Hazm.
2. Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima dari seribu (2,5%).
(HR. Ibnu Abi Syaibah)
3. Malik dalam al-Muwatha dari Ibnu Syihab bahwa orang yang pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan.
3. Abu Ubaid menyebutkan bahwa bila Umar bin Abdul Aziz memberikan gaji seseorang ia memungut zakatnya, begitu pula bila ia mengembalikan barang sitaan. Ia memungut zakat dari pemberian bila telah berada di tangan penerima.
(Al-Amwal hlm. 432)
4. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memungut zakat pemberian dan hadiah.
(Al-Mushannif hlm. 85).
5. Az-Zuhri (w.125 H) berpendapat bahwa bila seseorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib zakatnya datang maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu.
(Al-Mushannif jil.4 hlm.30)
6. Al-Auza'i (w.157 H) berpendapat ttg orang yang menjual hambanya atau rumahnya, bahwa ia wajib mengeluarkan zakat sesudah menerima uang penjualan di tangannya, kecuali bila ia memiliki bulan tertentu untuk mengeluarkan zakat, maka hendaknya zakat uang penjualannya disatukan dalam bulan tersebut.
Demikianlah sebagian hujjah dari ulama yang mewajibkan zakat atas penghasilan. Namun memang, masalah ini adalah khilafiyah di kalangan ulama. Bahkan di antara yang mewajibkan pun ada perbedaan ttg pendekatan yg dipakai. Jadi silahkan memilih :)
Bagi yang ingin mengetahui pendekatan yg dipakai MUI dalam hal zakat penghasilan, silahkan unduh Fatwa MUI no.3 Tahun 2003 di bawah atau baca langsung di sini
Wallahu a'lam
Tuesday, 22 June 2010
Tawasul, Masalah Aqidah atau Tata Cara Berdoa?
Demikian perkataan seorang ulama abad 20. Sebelum kita membahas apakah perkataan tersebut tepat atau tidak, perlu dijelaskan dulu sedikit tentang tawasul dan apa itu tawasul kepada Allah melalui makhlukNya.
Tawasul adalah menggunakan wasilah untuk mencapai sebuah hal. Tawasul yang dibicarakan di sini adalah tawasul "menuju (keridhoan/ganjaran) Allah". Sedangkan maksud "melalui makhluk-Nya" adalah melalui keutamaan salah satu makhlukNya seperti para Nabi dan orang-orang sholeh.
Lalu tepatkah kutipan di awal tulisan? Ada satu hadis yang mendukung diperbolehkannya tawasul melalui salah satu makhluk-Nya.
Dari Ustman bin Hanif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda: “Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”. Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”. Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca doa tersebut:
اللهم إني أسئلك و أتوجه إليك بمحمد نبي الرحمة يا محمد إني قد توجهت بك إلي ربي في حاجتي هذه لتُقضي اللهم فشفعه فيٍَ
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang menghampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya untukku)
Utsman bin Hanif berkata, "Orang itu pun melakukan hal itu kemudian sembuh"
[HR. Ahmad, para pentahqiq hadis ini mengatakannya shahih. At-Tirmidzi mengatakannya hasan gharib, Ibnu Majah menyebutnya shahih.]
Namun memang, dalil-dalil anjuran tuk meminta langsung kepada Allah jauh lebih banyak. Sehingga masalah tawasul kepada Allah melalui makhluk-Nya menjadi khilafiyah di kalangan ulama, dan mereka menganggapnya bagian dari hal furu' (cabang). Lebih jauh lagi, perbedaan juga terjadi di antara orang yg membolehkan, antara hanya boleh dengan nabi atau boleh juga dengan orang-orang shaleh.
Al-Albani dalam mukaddimah "Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah" karangan Ibnul-Izz ketika membahas 7 permasalahan, menulis, "seluruh hal tersebut berkaitan dengan aqidah, kecuali yang terakhir" [Muqaddimah Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah"].
Yang dimaksud hal terakhir adalah permasalahan terakhir tentang makruhnya bertawasul dengan hak dan kedudukan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab pun termasuk yang mengakui tentang khilafiyah tawasul ini.
"...Dengan demikian, perbedaannya sangat jelas. Kita tidak akan membahas hal ini. Sebagian orang ada yang membolehkan tawasul dengan orang-orang shaleh. Sebagiannya lagi dengan Nabi saja. Namun, kebanyakan ulama melarang dan memakruhkan hal itu. Permasalahan ini adalah permasalahan fikih. Meskipun, dalam pandangan saya, yang paling benar adalah pendapat jumhur yang memakruhkannya. Dengan demikian, kita tidak mengingkari orang yang melakukannya"
[Majmu' Fatwa asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab, hlm 68-69]
Al-Imam Ibnu Taimiyyah (termasuk yg tidak menyetujui tawasul melalui makhluk), setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam permasalahan tawasul, menulis,
"Tidak ada seorang pun yang berpendapat, bahwa orang yang berpendapat dengan pendapat pertama telah menjadi kafir. Tidak ada alasan untuk mengkafirkannya. Karena, permasalahan ini adalah permasalahan tersembunyi, ia tidak mempunyai dalil yang jelas. Kafir terjadi ketika ada orang yang mengingkari hal-hal urgen di dalam agama, hukum-hukum mutawatir yang disepakati, dan lain-lain.
Bahkan, orang yang mengkafirkan dengan perkara-perkara ini harus diberi hukuman dan ta'zir dengan keras, sama dengan orang-orang yang melakukan distorsi di dalam agama...."
[Majmu' Fatawa Syaikhul Islam, 1/106]
Demikianlah kedudukan permasalahan tawasul dalam agama ini. Ulama berbeda pendapat, di mana sebagian membolehkan dan sebagian lagi melarang (memakruhkan). Saya pribadi mengikuti pendapat memakruhkan, dan tidak mengingkari mereka yang melakukannya.
Wallahu a'lam
Wednesday, 16 June 2010
Tuesday, 15 June 2010
Monday, 14 June 2010
Saturday, 12 June 2010
ويكي_مصدر
Link bagus tuk literatur arab...
Mungkin...mungkin lho... bisa digunakan dg bantua google translate...
Saya sih lumayan seneng nemu situsnya doang.. ^_^;
Tuesday, 8 June 2010
Zakat, Kewajiban Yang Terlupakan?
Sudahkah kita bersihkan 2,5% dari harta (total tabungan, investasi,dll) kita setiap tahun hijriah (bukan masehi) yang telah mencapai nisab (31-an juta)?
Tidak perlu berbicara tentang keajaiban zakat sebagaimana orang berbicara keajaiban sedekah. Juga tidak perlu berbicara tentang zakat yang tidak akan memiskinkan kita. Karena ini adalah kewajiban, yang mana tidak akan sempurna keislaman kita kecuali dengan menunaikannya.
Abu Bakar As Shiddiq radhiallahu 'anhu. berkata : “Kalau sekiranya mereka menolak membayar kepadaku tali kekang unta yang dulunya biasa mereka bayarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pasti akan kuperangi lantaran menolak membayar zakat, sebab zakat adalah hak atas harta. Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang membedakan antara kewajiban sholat dengan zakat”.
Wallahul-musta'an
Monday, 7 June 2010
Pendiri FB Anggota Illuminati?
VIVAnews - Pernahkah Anda penasaran, mengapa pendiri dan CEO Facebook Mark Zuckerberg begitu senang memakai hoodie (jaket bertudung-red)?
Pekan lalu, saat diwawancarai oleh Kara Swisher dan Walt Mossberg dari All Things Digital, di konferensi D8 di Rancho Palos Verdes, California, Zuckerberg menyingkap 'rahasia' jaketnya.
Saat dihujani pertanyaan mengenai privasi, keringat Zuckerberg mengucur deras sehingga ia pun melepas jaket tudungnya itu.
Ternyata jaket itu menarik perhatian Kara Swisher, karena di dalam jaket itu terdapat simbol bergambar lingkaran beserta anak panah yang menuju ke enam penjuru arah mata angin. Di titik pusat keenam anak panah itu, terbentuk lambang bintang daud.
"Apa ini, apakah kamu ikut semacam pemujaan setan," kata Kara Swisher sambil melihat jaket milik Zuckerberg, dikutip dari situs SFWeekly.
Swisher juga menambahkan bahwa gambar di jaket itu mengingatkan dia pada simbol illuminati. Sementara Gawker.com menambahkan bahwa simbol itu juga mempresentasikan wajah iblis Beelzebub pada mitologi Yahudi.
Zuckerberg sendiri sudah banyak diketahui sebagai anak keturunan dari pasangan keluarga Yahudi-Amerika, Edward dan Karen Zuckerberg.
....
......
...........
selengkapnya