Thursday, 16 June 2011

Shalat Ghaib, Bagaimanakah?

Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu was Salamu ‘Ala rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

Shalat ghaib adalah masyru’ (disyariatkan). Tetapi kepada siapa dilaksanakannya? Apakah kepada setiap mayit muslim? ataukah bagi yang bertinggal di daerah yang memang tidak ada yang menshalatkannya. Lalu, jika sudah ada yang menshalatkannya maka kewajiban menshalatkannya adalah gugur, baik shalat jenazah atau shalat ghaib. Ataukah khusus bagi tokoh-tokoh tapi tidak bagi manusia biasa? Bagaimanakah ini?

Imam Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkabung atas Najasyi ketika hari wafatnya, dan Beliau keluar menuju lapangan bersama mereka (para sahabat) lalu membuat barisan dan bertakbir empat kali. (HR. Bukhari No. 1333)

Kisah ini menunjukkan bahwa shalat ghaib telah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kepada seorang muslim (Najasyi), dan dia seorang raja yang menyembunyikan keislamannya, yang tinggal di negeri kafir. Artinya tidak ada yang menshalatkannya di negerinya sendiri. Itulah sebabnya Beliau dishalatkan secara ghaib oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ini adalah shalat ghaib yang pertama dilakukan oleh nabi sekaligus yang terakhir. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ghaib adalah khusus Najasyi, atau ada juga yang mengatakan boleh juga bagi yang memiliki kasus seperti Najasyi; tinggal di negeri kafir dan tidak ada yang menshalatkannya. Ada juga yang mengatakan bahwa itu khusus bagi raja, ulama, dan tokoh sebagaimana Najasyi, bukan untuk rakyat kebanyakan.

Berkata Al Ustadz Dr. Su’ud Abdullah Al Funaisan:

فالحنفية والمالكية لا يجوزون الصلاة على الميت الغائب وهي رواية في مذهب أحمد. ووجه ذلك عندهم أنه لم ينقل عن الرسول صلى الله عليه وسلم أنه صلى صلاة الغائب على غير النجاشي ، ويرون أن صلاة الغائب خاصة به، وقالوا أيضا أنه مات كثير من الصحابة خارج المدينة ولم ينقل أن الرسول - صلى الله عليه وسلم - صلى عليهم أو أمر بذلك.
وذهبت الشافعية والحنابلة إلى مشروعية الصلاة على الميت الغائب وتمسكوا بصلاة الرسول - صلى الله عليه وسلم - وصحابته على النجاشي عند موته ولا يرون خصوصيتها به لعدم النص على ذلك، وقالوا : الأصل في الأحكام العموم وعدم الخصوصية.
والذي يظهر لي - والله أعلم - بعد النظر والتأمل في النصوص: أن صلاة الغائب جائزة إذا كان المتوفى له شأن بين المسلمين في الصلاح والعلم أو الدعوة إلى الله، أو كان زعيما وأميراً - كما هي الحال في النجاشي - رحمه الله - .
أما إذا كان الميت من آحاد الناس وعامتهم فلا تشرع صلاة الغائب عليه حينئذ .

Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpandangan tidak bolehnya shalat kepada mayit yang ghaib, dan ini juga satu riwayat dari pendapat Ahmad. Alasan mereka adalah karena tidak pernah diriwayatkan dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat ghaib kepada selain Najasyi, mereka berpendapat bahwa shalat ghaib adalah khusus bagi Najasyi. Mereka juga mengatakan, bahwa para sahabat banyak yang wafat di luar Madinah, tetapi tidak ada riwayat yang menyebut bahwa Beliau melakukan shalat ghaib atau memerintahkan hal itu.

Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat disyariatkannya shalat ghaib, berdasarkan riwayat shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama sahabatnya untuk Najasyi ketika hari wafatnya. Mereka tidak menilai bahwa ini khusus bagi dia saja, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan itu. Mereka mengatakan: asal dari hukum adalah keumumannya, tidak secara khusus.
Ada pun yang benar menurutku adalah –wallahu a’lam- setelah memperhatikan dan melihat nash-nash yang ada; shalat ghiab adalah boleh jika yan wafat itu tinggal bersama kaum muslimin dalam keadaan baik, berilmu, dan penyeru dakwah ilallah, atau dia seorang pemimpin dan penguasa, sebagaimana begitulah keadaan Najasyi Rahimahullah.
Sedangkan jika yang wafat adalah salah satu dari manusia dan rakyat kebanyakan, maka saat itu tidak disyariatkan shalat ghaib. (Al Khulashah, 2/223)

Disebutkan dalam Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid juga:

فإن الصلاة على الغائب (أي: المسلم الذي مات في بلد آخر) جائزة، فقد روى الشيخان صلاة النبي صلى الله عليه وسلم والصحابة معه على النجاشي لما مات في الحبشة.
وتصلى صلاة الغائب على كل مَن تُصلى عليه صلاة الجنازة، وهو: كل مسلم مات: ذكراً كان أم أنثى، صغيراً كان أم كبيراً، باتفاق الفقهاء.

Sesungguhnya Shalat Ghaib (yaitu shalat kepada muslim yang wafat di negeri lain) adalah boleh. Telah diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim) tentang shalatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat bersamanya terhadap mayat Najasyi yang wafat di Habasyah.
Dilakukannya shalat ghaib adalah untuk setiap orang yang dishalatkan jenazahnya, dia adalah setiap muslim yang wafat, baik laki-laki atau wanita, anak-anak atau orang tua, menurut kesepakatan para fuqaha. (Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid, 2/141)

Demikianlah perbedaan pendapat para fuqaha dalam hal ini. Pandangan yang mengatakan bahwa shalat ghaib boleh dilakukan untuk setiap muslim adalah pendapat yang lebih kuat. Insya Allah. Inilah pendapat Syafi’iyah, Hanabilah, dan lainnya.

Ada beberapa alasan:
- Tidak ada dalil yang menunjukkan khusus buat Najasyi dan khusus buat tokoh saja. Nash yang ‘am (global - umum) mesti dipakai selama yang khas (khusus-spesifik) tidak ada.
- Walaupun Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sekali melakukan shalat ghaib, dan tidak pernah melakukannya kepada mayat lainnya, itu sama sekali tidak menghilangkan nilai pensyariatannya. Pengulangan bukanlah syarat untuk pensyariatan sebuah amalan. Syariat shalat ghaib tetaplah berlaku selama belum ada yang menasakh(menghapus)-nya, walaupun dalam sejarahnya nabi hanya melakukan sekali seumur hidupnya.
- Pensyariatan shalat ghaib untuk semua mayit muslim di tempat lain, adalah lebih sesuai dengan rahmat dan keadilan Islam yang tidak pilih kasih bagi umatnya.

Ada pun bagi mayit muslim yang berada di negeri kafir, dan di sana tidak ada yang menshalatkannya, maka wajib -bukan hanya boleh- bagi muslim di negeri lain yang mengetahuinya untuk menshalatkan secara ghaib, sebab shalat ghaib saat itu seperti shalat jenazah, yakni fardhu kifayah. Ada pun jika mayit tersebut tinggal di negeri muslim, dan sudah ada yang menshalatkannya maka gugurlah kewajiban yang lainnya, termasuk shalat ghaib. Gugur kewajiban bukan berarti tidak boleh dilaksanakan.

Demikian. Wallahu A’lam

Disadur dari blog al-Ustadz Farid Nu'man (http://faridnuman.blogspot.com)

5 comments:

  1. apakah boleh shalat ghaib untuk kakek yang sudah mati sebelum saya lahir???

    ReplyDelete
  2. ana tunggu jawaban antum sendiri deh... :)

    ReplyDelete
  3. ana tidak tahu akh... krn tulisan di atas pun bukan dari ana (sbagaimana telah ana cantumkan sumbernya)..

    ReplyDelete
  4. yauda gpp ko mas... thanks postingnya

    ReplyDelete