Wednesday 3 November 2010

Rhum Itu Haram Lho!

Fatwa MUI tentang haramnya rhum setahu saya dah lama, tp entah mengapa kok masih ditemukan orang-orang yg kesannya gak pedul, dengan berbagai dalihnya, "ini rhum kue", "ini alkoholnya 0% ", dll...

Untuk mensosialisasikan kembali, berikut kutipan berita seputar rhum, yang difatwakan haram oleh MUI, baik rhumnya itu sendiri maupun perasa rhumnya.

-----------------

Pernah mencicipi kue sus atau cake yang lezat dan harum dari cake shop atau hotel terkenal? Perhatikan seksama aroma dan rasanya. Ada aroma harum yang menusuk hidung dan rasa yang agak dingin. Ya. Itulah rhum, salah satu bahan tambahan dalam membuat kue.

Kue-kue dari hotel dan bakery terkenal kerap menggunakannya dalam taart, dan sus. Vla di dalam sus menjadi lebih lezat bila dicampurkan rhum. Cake aneka buah juga biasanya menggunakan rhum. Biasanya sebelum dicampur ke dalam cake, buah direndam dulu ke dalam rhum agar aromanya menjadi lebih menggugah selera.

Rhum menurut relawan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Kosmetika dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), KA Endin, digolongkan ke dalam khamr. Kandungan alkoholnya cukup tinggi. Karena itu fatwanya pun jelas: haram. ''Sedikit atau banyak, khamr itu haram hukumnya,'' kata Endin ketika ditemui di kantornya Jumat (26/7).

Seperti rhum, mirin atau berbagai cairan yang tergolong arak juga haram hukumnya. Kandungan alkoholnya cukup tinggi, mencapai 60 persen. Arak merupakan produk fermentasi yang juga menghasilkan alkohol cukup tinggi. Fatwa MUI menyebutkan kandungan alkohol di bawah satu persen pun --karena sudah diencerkan-- hukumnya tetap sama: haram.

''Berbeda dengan alkohol yang merupakan komponen tunggal atau murni seperti dalam buah,'' ujarnya lagi. Buah durian dan jeruk termasuk kategori buah yang mengandung alkohol dalam jumlah kecil yakni di bawah satu persen. Karena murni, maka durian dan jeruk boleh dikonsumsi. Fatwa MUI menyebutkan alkohol merupakan fenomena dalam alam.

Konsumen di Indonesia tergolong tidak berhati-hati. Beraneka ragam cake dan roti yang menggunakan campuran rhum. Tanpa peduli bahan pembuatnya, masyarakat langsung menyantapnya. Yang menyedihkan, kata Endin, konsumen bahkan tak tahu komponen pembuat kue atau roti.

Padahal bila tahu, ada kemungkinan umat Islam lebih hati-hati mengonsumsi makanan. Rhum baru terasa bila dimakan atau dicium terlebih dahulu. Hampir tak ada kue-kue jajan pasar atau cake buatan bakery ternama yang mencantumkan komposisi bahan dasar pembuat kue.

Seperti rhum, mirin pun bukan hal aneh bagi umat Islam di Indonesia. Asalnya memang dari Jepang. Makanan Jepang seperti beef teriyaki, sukiyaki, atau olahan daging lain kerap menggunakan mirin. Arak beras dari negeri matahari terbit ini menjadi biasa di lidah orang Indonesia dengan hadirnya restoran makanan Jepang cepat saji.

Restoran tersebut belum memiliki sertifikat halal. Namun pengunjungnya berlimpah. Jangan tanya agama. Pasti Muslim yang terbanyak. Mirin memang hanya salah satu bahan pencampur. Kita bahkan tak tahu bahan utama. Barangkali banyak juga yang menggunakan barang haram lain.

''Banyak sekali hal-hal subhat di sekitar kita. Yang haram pun banyak,'' kata Endin. Dan dia merasa aneh ketika lembaga konsumen dan bahkan sebagian besar Muslim justru menganjurkan agar mencantumkan label haram dan bukan halal dengan alasan lebih banyak produk yang halal dari yang haram.

Untuk menyiasati konsumen yang tak mau memakai rhum, produsen menciptakan flavor (essence) rhum dan perasa buah lainnya. Benda tersebut diklaim bukan rhum. Hanya rasa dan aromanya menyerupai rhum asli. Adakah flavor itu sekadar persamaan rasa?

Tidak. Jurnal Halal LPPOM MUI edisi Juli-Agustus 2002 menyebut dua alasan yang menjelaskannya. Pertama, hukum asal dari mengonsumsi minuman keras jenis bir, arak, dan rhum haram hukumnya. Karena itu, menciptakan flavor yang hukum asalnya haram, adalah haram. Sekalipun tak ada kandungan haram di dalamnya.

Sama saja dengan rasa babi. Karena babi haram, maka flavor babi atau bahan makanan dengan rasa babi pun haram hukumnya.

Yang kedua, flavor rhum ternyata masih menggunakan alkohol sebagai pelarut. Dan ini dijumpai hampir pada seluruh flavor rhum yang dijumpai di pasaran.

Flavor rhum bukanlah satu-satunya perasa yang menggunakan alkohol. Flavor buah atau flavor vanila, coklat, atau kopi rupanya juga menggunakan alkohol sebagai pelarut. Apalagi menurut penelitian LPPOM MUI kandungan alkohol pada flavor buah pada botol ukuran kecil mencapai 7 persen. Tentu saja hukumnya pun menjadi haram.

Selain mengandung alkohol, essence juga ada yang dibuat dari unsur binatang seperti berang-berang dan civet. MUI menyatakan perasa yang mengandung kedua binatang tersebut haram hukumnya.

Menyantap roti pun tak boleh sembarang, meskipun makanan tersebut juga sudah sangat populer di Indonesia. Ada banyak kandungan yang tak jelas di dalamnya. Bahan pengembang roti ternyata ada yang terbuat dari rambut manusia. Aneh memang. Tapi ini diakui Endin yang sebelumnya berkecimpung di Pertamina.

Adonan roti membutuhkan pengembang. Dan rambut mengandung protein yang cukup tinggi yang bisa melembutkan dan mengembangkan kue dengan cukup baik yang disebut cestein. Produk yang sudah mendapat sertifikat halal umumnya sudah mengubah cestein dengan pelembut dari rumput laut.

Sementara mentega dan keju dari luar negeri kerap menggunakan pengental dari renet yang terbuat dari lemak di dalam perut babi. Renet itu bukan pembuat keju. Fungsinya hanya untuk mengentalkan susu yang akan dibuat keju atau mentega. ''Kita punya asas intifak. Benda yang haram, maka pemanfaatan apa pun dari benda haram itu haram hukumnya.''  tid/dokrep/
Agustus 2002

sumber : http://koran.republika.co.id/berita/16114/Berhati_hati_dengan_Rhum_dan_Flavor_Rhum

10 comments:

  1. rum itu yang biasanya ada di tart itu toh, Mas?

    ReplyDelete
  2. betul, kue tart dan yg semisalnya..
    so perlu ati2 klo beli kue tart dan teman2nya..

    ReplyDelete
  3. ho~ maturnuwun sanget for sharing-nya, sensei. Perlu lebih berhati-hati lagi dalam masalah makan-memakan. Seandainya smua produk di Indonesia bersertifikasi HALAL, betapa bahagianya. itsu ka na~

    ReplyDelete
  4. hehehe... klo saya g merasa perlu semua produk indonesia bersertifikasi HALAL.. krn pada dasarnya implementasinya sangat sulit.. gimana dg tukang somay keliling atau abang2 mie ayam? sangat merepotkan rasanya klo sampai level mereka hrs disertifikasi (dan diawasi frequently tentunya).

    so, imho, yg perlu dilakukan adalah dakwah, tarbiyah, sosialisasi, untuk membangun islam based society, dmana warganya memiliki kesadaran tuk hidup sesuai tuntunanNya.

    kesimpulannya, pendekatan top-down emang perlu, tp kuncinya tetap bottom-up.

    ReplyDelete
  5. hmm..
    saya penyuka resto siap saji jepang nih, dan keluarga saya juga punya toko kue langganan. klo ud ada sertifikasi halalnya, bisa dianggap aman kan?

    ReplyDelete
  6. klo udah ada sertifikat halalnya tentu sudah aman. wallahu a'lam

    ReplyDelete
  7. serem juga sih..kalo ke hotel gitu, jadi horor makan kue-kue barat-nya, kaya cake gitu, khawatir ada rhum-nya, temen saya ada om yang bisa mengenali rhum, kalau saya gabisa..pernah udah terlanjur makan, kue dibawakan teman, terus saya ditegor sama temen yang bisa mengenali rhum itu, "ada rhum-nya Di, jangan dimakan, emang lo ga kerasa?" gubrak!!

    dan kayanya..toko-toko cake masih banyak yang pake rhum deh.. :(

    ReplyDelete
  8. pilih aja yg ada logo halal MUI-nya, beres.

    ReplyDelete
  9. kalo di hotel gitu gimana? ada logo halal-nya juga ga si? (maap kalo pertanyaannya terlalu awam)

    ReplyDelete
  10. klo saya sih, di indonesia memakai kaidah "nahnu nahkumu bizhzhawahir wallahu yatawalla assarair" (kami menghukumi dari yg zhahir, dan berserah pada Allah atas yg tersembunyi)

    jd klo memang g tahu, ya ga papa. walaupun mungkin sikap yg lebih baik adalah menghindarinya.

    wallahu a'lam

    ReplyDelete