dari hidayatullah.com
--
oleh:
ADA dua kesan yang terbersit dari wajah pendukung pluralisme agama: kontradiksi tapi percaya diri! Kontradiksi karena mulutnya berbunyi toleransi tapi sorot matanya menyiratkan relativisme. Percaya diri karena merasa berada di jantung wacana postmodernisme.
Sebenarnya, asal mula makna pluralism adalah toleransi. Dalam Oxford Advanced Learners’s Dictionary of Current English, terbit tahun 1948, makna itu jelas. Pluralisme adalah “suatu prinsip bahwa kelompok-kelompok bebeda tersebut dapat hidup bersama dalam kedamaian dalam satu masyarakat.” Tapi setengah abad kemudian prinsip berubah menjadi relativisme: curiga terhadap konsep “kebenaran”. Buktinya bisa dibaca pada Oxford Dictionary of Philosophy, oleh Simon Blackburn, terbit tahun 1995. Pluralisme adalah prinsip bahwa disana tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. Disinilah kontradiksi itu mulai nampak.
Memang kini pluralism adalah wacana postmodernisme dan artinya tidak lain kecuali relativisme. Akbar S Ahmed dalam Islam and Postmodernism tegas bahwa postmodernisme dipicu oleh semangat pluralisme (relativisme). Padahal ketika pluralisme diartikan relativisme, maka akal sehat akan menolak, karena alasan law of no-contradiction. Jika bagi seorang yang beragama Tuhan itu ada, sedangkan bagi seorang atheist tuhan itu tidak ada…; dan jika dalam ajaran suatu agama Tuhan itu Maha Esa sedangkan bagi penganut ajaran lain tuhan itu tiga atau lebih…; dan jika tuhan bagi suatu agama adalah satu dan tidak seperti manusia sedang dalam kepercayaan itu ada dua: laki dan wanita…dst. maka menurut law of no-contradiction tidak mungkin semua benar atau semua salah. Yang benar pasti hanya satu.
Tapi Akbar juga menambahkan bahwa postmodernisme itu dihadapkan secara berlawanan dengan fundamentalisme. Apa itu fundamentalisme? tidak jelas. Dari Cheryl Bernard dalam Civil Democratic Soicety kita baru mafhum artinya adalah keolompok yang menolak kebudayaan Barat. Jika demikian semakin jelas bahwa relativisme adalah faham anti agama-agama.
Tapi bagaimana cara menghadapi agama-agama? Jadikanlah agama sebagai masalah publik yang meresahkan! Buatlah bukti lalu stigma bahwa agama adalah sumber konflik dan kekerasan. Jika perlu konflik antar agama sekecil apapun harus dipublikasikan dan kalau perlu diada-adakan. Begitulah fatwa Cheryl Bernard.
Hanya anehnya intoleransi dan kekerasan non fisik terhadap agama di Barat tidak dibahas. Di Barat, Muslim, misalnya, tidak mengalami kekerasan fisik, tapi tidak menikmati toleransi sama sekali. Bahkan Muslim kehilangan hampir semua hak asasi publiknya. Menara masjid diharamkan sekaligus suara azannya. Ibadah shalat oleh individu atau jamaah seperti Idul Adha diruang publik haram hukumnya, apalagi istighthah gaya para kyai pesantren. Tapi tidak ada publikasi tentang intoleransi ini.
Sementara di negeri Muslim, khususnya Indonesia, toleransi lebih menonjol. Penganut agama minoritas dapat menikmati kebebasan publik. Dentuman lonceng gereja bebas bersaing dengan suara bedug dan azan. Gebyar natal, nyepi, imlek, galungan bebas dirayakan diruang publik secara nasional, bersaing dengan Idul Fitri. Mimbar agama-agama di TV-TV publik menjadi tontonan yang jamak. Tapi aksi intoleransi sekecil apapun pasti dipublikasikan.
Dari negeri Muslim ini mestinya Barat belajar bertoleransi, dan bukan mengajarkan relativisme. Benar ! Sebab ketika saya memberi kuliah umum di Universtas Wienna seorang peserta bertanya:”Mengapa anda dapat hidup dengan toleransi seperti itu? Padahal kami disini bertentangga dengan Muslim atau penganut agama lain saja sangat tidak mudah”. Karena Barat sekuler dan seperti kata John Hick, Barat baru mengenal pluralitas agama-agama, jawab saya.
Memang Barat, Islam dan agama-agama perlu saling belajar bertoleransi. Jika pluralisme berarti toleransi maka demi pluralism kita tidak perlu menyamakan Tuhan semua agama dan konsep kepercayaan kepadaNya. Demi pluralisme Barat tidak perlu pergi ke masjid dan ikut sholat atau ikut dikhitan. Sebaliknya, demi pluralism (toleran) Muslim tidak perlu makan daging babi, minum arak, melegalkan praktek lesbi dan homoseks; Demi pluralisme orang Nasrani tidak perlu ikut tahlilan, nyumbang dana untuk kurban atau zakat, dan orang Islam tidak perlu rame-rame ikut natalan atau minta dibaptis. Demi pluralisme orang Hindu tidak perlu menghancurkan patung mereka.
Jadi pluralisme yang berarti relativisme adalah kontradiktif, secara logis, teologis maupun sosial. Logika buya Hamka tidak salah ketika mengatakan bahwa siapapun yang mengatakan semua agama itu sama, dia pasti tidak beragama. Jika Muslim yang mengatakan semua agama itu sama, maka ia tidak bicara atas nama Islam. Dalam bahasa logika, barangsiapa yang mengatakan semua pendapat itu sama benarnya maka ia menyalahi law of no-contradiction berarti kontradiksi. Bahkan bagi Gregory Koukl, pembela teologi Kristen masa kini, “konsep pluralisme agama masa kini adalah bodoh (stupid)”. Wallahu a’lam bissawab
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com
Artikel yg sangat bagus, mas Syaikhul.
ReplyDeleteBetul, pendukung pluralisme memang kontradiktif.