Kali ini saya mencoba mengomentari poin lain dari buku "Tidak Syar'inya Bank Syariah di Indonesia" (TSBSI), yaitu tentang kritik terhadap praktik bank syariah. Saya komentari tidak terlalu detail karena rasanya justru jadi makin membingungkan bagi mereka yang tidak mendalami bank syariah. Intinya, bank syariah di Indonesia dan di dunia telah melewati diskusi para ulama besar yang kredibel.
Sayangnya, para pengkritik bank syariah sepertinya belum pernah duduk bersama dengan para ulama yang telah mengesahkan bank syariah di berbagai negara sehingga ulasan mereka tentang ketidaksyar'i-an bank syariah terlihat kurang komprehensif (setidaknya itu yg saya dapatkan dari TSBSI).
Beberapa hal yang perlu dikritisi dari buku "Tidak Syar'inya Bank Syariah di Indonesia" (TSBSI) adalah sbb:
1. "Dilihat dari sudut pandang syariah, sebagaimana juga telah diuraikan di atas, baik penerapan bunga maupun penggunaan promissory note (uang kertas -saya), apalagi semata-mata berupa byte komputer, sebagai alat tukar, haram hukumnya. Maka konsekuensi logisnya, bila perbankan ingin "diterima oleh syariah", maka kedua elemen tersebut harus "dilegalkan" " (hlm. 164)
Melalui ungkapan ini dapat ditangkap bahwa TSBSI menganggap bank syariah tidak syar'i karena masih menggunakan uang kertas. Masalah ini telah dibantah melalui postingan sebelumnya. Silahkan cek ke sini.
2. TSBSI mengatakan di hlm.173 bahwa akad wadiah yang ada sekarang di bank syariah tidak syar'i karena wadiah (titipan) tersebut melegalkan bank untuk "merampas" hak kepemilikan uang titipan nasabah untuk diputar, dan bonusnya diberikan tanpa hitungan yang jelas sehingga dianggap menzhalimi nasabah.
Hal ini sebenarnya bukan masalah, karena ketika melakukan akad wadiah, nasabah telah setuju mengizinkan bank memutar dana titipan mereka dengan tambahan syarat bahwa tidak ada bonus pasti (karena akadnya wadiah bukan mudharabah). Selain itu nasabah mendapat keuntungan karena uangnya dijaga oleh bank dan bisa menggunakan berbagai fasilitas dari bank. Bagaimana mungkin hal ini dikatakan kezhaliman terhadap nasabah.
3. Di hlm. 178-179 dikatakan terkait akad murabahah (jual beli) yg dilakukan bank syariah, "Kalau harga rumah tersebut di pasaran saat itu Rp 100 juta, mengapa bank menjualnya seharga Rp 200 juta (dengan cicilan -saya), artinya keuntungan 100% - yang jelas tidak beralasan dan sangat memberatkan"
Sepemahaman saya, dalam Fikih tidak diperlukan alasan khusus bagi seorang penjual untuk mengambil keuntungan berapa persen pun. Jika pembeli tidak menyukai harga dari penjual, ia bisa mencari penjual lain. Tentu sangat tidak tepat mengatakan bahwa praktik murabahah bank syariah saat ini "sangat memberatkan" nasabah. Namanya orang bisnis, terserah mengambil untung berapa pun. Asal jual belinya dilakukan dengan ridho sama ridho. Ini bedanya dengan akan ribawi. Akad ribawi walaupun ridho sama ridho hukumnya haram, karena dalilny tegas. Tapi jual beli adalah sesuatu yang halal, dan tentang persentase keuntungan tidak ada aturannya dalam Islam.
4. Ketika membahas tentang syirkat (usaha bersama), TSBSI mengatakan bahwa dalam Islam syirkat tidak mengenal pemegang saham mayoritas, dan tidak mengenal pembagian profit/deviden di akhir tahun (hlm. 192)
Tentu hal ini merupakan klaim sepihak TSBSI, dan TSBSI juga tidak mencantumkan dalil yang tegas dari al-Quran maupun as-Sunnah mengenai hal ini. TSBSI hanya mengutip tidak langsung ulasan Imam Malik dalam al-Muwatta dan melakukan tafsir versinya. Sangat penting diketahui bahwa masalah muamalat adalah masalah yang sangat longgar dalam Islam, sehingga dikatakan "al-'adah muhakkamah", adat itu bisa menjadi hukum. Oleh karenanya tidak bisa diklaim bahwa praktik syirkat (musyarakah) yang ada di industri perbankan syariah sekarang tidak syar'i hanya karena hal-hal tersebut di atas.
Segini aja deh.. , menyambut maghrib.. :)
Wallahu a'lam
Artikel terkait: Tidak Syar'inya Dinar Syariah
TSBSI karya Zaim Zaidi?
ReplyDeletebetul, betul, betul.. :)
ReplyDeletebukan mudharabah, tapi murabahah, karena mudharabah juga termasuk dalam uncertainty contracts..
ReplyDelete=))
bukan begitu?
tetap mudharabah sih... wlopun uncertainty contracts, mudharabah di bank syariah bisa mengeluarkan hitungan rate... bonusnya (ada tidaknya) bisa dibilang pasti, hanya angkanya yang tidak pasti. klo wadiah, (ada tidaknya) bonus juga tidak pasti, apalagi angkanya..
ReplyDeleteklo murabahah tidak ada dalam akad tabungan :)
kayaknya anda pegawai "bank syariah", apakah anda tahu awal pertama suatu bank syariah dibuka?
ReplyDeletesaya infokan berdasar pengalaman saya pribadi, bahwa bank syariah tersebut untuk menarik calon nasabahnya dengan memberi kemudahan kredit uang dengan memanipulasi akad.
misalnya dalam akadnya untuk pembelian sepeda motor tapi pada kenyataannya diberikan uang tunai dan tidak dibelikan sepeda motor.. apa bedanya dengan bank konvensional?
anda tahu hukumnya menuduh tanpa bukti dalam islam?
ReplyDeletesaya bukan pegawai bank syariah :)
apakah anda pernah duduk bersama DSN-MUI dan berdiskusi dengan mereka? atau hanya menghukumi berdasarkan ilmu dan kemampuan pribadi?
oh saya tidak menuduh, tp pengalaman pribadi.. saya pun berani bersumpah. maaf karena menyangka anda pegawai bank tersebut.
ReplyDeletesaya bukan orang yang pintar tapi pengalaman saya pribadi yang langsung berhadapan dengan para praktisinya itulah yang membuat saya berani memberi pernyataan demikian.
trus yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah jika bank syariah mau berbagi keuntungan apakah juga mau berbagi kerugian?
yg saya maksud dg "menuduh" adalah "tuduhan" anda terhadap saya sebagai pegawai bank syariah, atau mungkin "sangkaan" klo anda lebih senang menyebutnya demikian... :)
ReplyDeletesaya juga berhadapan dengan para praktisi perbankan syariah, saya juga bertemu dg DSN-MUI, saya juga pernah mengikuti kuliah mereka yang mengkritik perbankan syariah.. namun kesimpulan akhir saya dengan anda berbeda.. :)
dalam salah satu catatan saya, ada kasus tercatat di mana bank syariah juga berbagi kerugian...
saya tidak mengatakan bank syariah itu sempurna, tapi sebelum mengatakan bank syariah tidak syar'i, maka sangat perlu dikaji mendalam, bukan sekedar dg pengalaman pribadi... bahkan mereka yang melakukan kajian mendalam saja masih memiliki celah tuk dikritisi, apalagi yg sekedar berbekal pengalaman pribadi.
lha klw anda mau mengkajinya ya silahkan, saya hanya mau share pengalaman saya ketika berhadapan langsung dengan praktisi bank syariah (baca: pegawai bank syariah bagian kredit/pembiayaan) yang pada kenyataannya di lapangan proses pemberiannya itu tidak syar'i... cukup sekian balasan dari saya, bagi yang masih menganggap bank syariah itu syar'i saya kembalikan kepada pribadi masing2, Allah Maha Mengetahui apa yang dilakukan hamba2-Nya, Wassalam
ReplyDeleteYa, Allah Maha Mengetahui.. dan yang paling mengetahui sesuatu itu sesuai syariat atau tidak juga Dia. pemahaman atau perkataan pribadi bukanlah hujjah di akhirat, apalagi jika tidak diketahui bahwa pemahaman atau perkataannya itu berdasarkan pengetahuan yang benar atau tidak.
ReplyDeleteMari aminkan do'a ini "Ya Allah, perbaikilah agama kami yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusan kami, dan perbaikilah (urusan) dunia kami yang merupakan tempat hidup kami, serta perbaikilah akhirat kami yang merupakan tempat kembali kami (selamanya), jadikanlah (masa) hidup kami sebagai penambah kebaikan bagi kami, dan (jadikanlah) kematian kami sebagai penghalang bagi kami dari semua keburukan."
ReplyDeleteMaaf, apa ada bank syariah yang mau menanggung kerugian nasabah? saya belum pernah dengar. Yg saya alami malah lebih mengerikan dibanding bank konvensional. Lebih baik nama syariahnya dilepas karena sama saja.Islam juga melarang riba. Wallahu a'lam bishawab
ReplyDeleteSetiap keuntungan dr pinjaman itu riba. Bank konven dan syariah sama aja cari untung. Kl mau bank syariah tidak dibawah BI. Kemudian memakai dinar dirham. Dan pinjaman tanpa bunga.
ReplyDelete