Thursday 6 August 2009

Dinar Emas dan Ekonomi Islami

Bisa dikatakan, dinar emas, atau uang emas, atau uang riil, adalah pembahasan yang berada jauh di balik sistem finansial islami. Membeberkannya juga akan membeberkan betapa sistem finansial islami masih belum islami. Pembahasannya bisa sampai pada pertanyaan2 "perlukah bank, pasar uang, dan pasar modal?", pertanyaan yg sangat sulit dijawab.

Krisis moneter yang berulang-ulang dalam sejarah, timbul dari 3 hal; uang fiat, fractional reserve requirement (FRR) system*, dan bunga bank (bagi yg ingin tahu apa itu FRR, silahkan berhenti sejenak dan meluncur ke bagian footnote). Demikian Prof. Kameel dalam The Theft of Nations.

Dinar Emas (uang riil) akan menjadi solusi karena akan menghilangkan FRR dan bunga bank. Uang emas tidak akan bisa digelembungkan karena ia riil. Setiap pencatatan yang dibuat harus berdasarkan keberadaan emas. Jika emasnya tidak ada, maka tidak boleh dicatat. Ini berbeda dengan uang fiat yang begitu mudah dicetak, sehingga transaksi-transaksi penggelembungan uang mudah terjadi.

Mari kita lihat dalil pengharaman riba
"wa ahallaahul-bay`a wa harramar-riba"
dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. 2:276)

Jual beli diperbolehkan karena ia riil, sedangkan riba diharamkan karena ia non-riil. Dalam konteks yang lebih luas kita bisa melihat bahwa penggelembungan uang (money multiplier) dilarang dalam islam, kecuali ada nilai tambah yang sepadan di sektor riil (perdagangan).

Mungkin pendukung uang fiat menganggap "Gelembungkan saja dulu, toh nanti sektor riil akan ikut. Kan para pemilik uang akan belanja macem2. Belanja kan sektor riil". Tapi sejarah membuktikan ternyata tidak demikian. Para pemilik uang, cenderung menabung uangnya jika penghasilannya bertambah, bukan memutarnya di sektor riil. Karena itu pemerintah berbagai negara selalu menurunkan suku bunga ketika terjadi krisis, agar mereka yang "rajin menabung" mau mengeluarkan uangnya dan menyalurkannya ke sektor riil.

Mungkin kita akan bilang, jika uang dibatasi pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Pertumbuhan yang kecil tapi mensejahterakan seluruh masyarakat lebih baik daripada pertumbuhan besar tapi hanya dinikmati sebagian orang, dan itupun harus dibayar dengan krisis yang terus berulang-ulang. Slogan bank dunia "working for the world free of poverty" yang telah "diperjuangkan" selama puluhan tahun tidak pernah terwujud. Bahkan, tingkat kemiskinan terus bertambah, sedangkan orang kaya semakin kaya. Jelas, ada yang salah dalam pertumbuhan ekonomi yang dikonsepkan para ekonom konvensional.

Lebih jauh lagi, kecenderungan masyarakat untuk menyimpan uang bukanlah kecenderungan yang baik. Sependek pengetahuan saya, Islam cenderung menganjurkan umatnya untuk tidak menyimpan uang, terutama jika ada saudaranya yg membutuhkan.

"Tidak beriman seseorang di antara kamu sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri" (hadits shahih sbgmana tersebut dalam hadits arba'in)

Apa jawaban kita jika dimintai pertanggungjawaban tentang kemiskinan yang diderita banyak kaum muslimin? Apakah kita akan menjawab, "Saya telah menabung uang saya di bank. Bank akan menyalurkan uang saya kepada mereka yang memerlukan modal usaha. Usaha yang dibangun akan memberikan lapangan pekerjaan dan mengatasi kemiskinan di masyarakat".

Benarkah kita menabung untuk mensejahterakan masyarakat? Tidakkah kita menabung hanya untuk mengamankan uang kita dari pencurian, kebakaran, dll? Atau bahkan kita termasuk yang menganggap menabung di bank Islam adalah cara yang syar`i untuk MENAMBAH uang kita?

........(-_-;)

Jika memang kita ingin membangun masyarakat melalui peminjaman modal usaha kpd yg rajin berusaha, kenapa kita tidak meminjamkannya langsung? Klo pun perlu lewat bank, kenapa kita meminta jaminan bahwa uang kita bisa ditarik kapan saja? Bukankah uang kita sedang dijadikan modal usaha. Tentu uang yg sedang digunakan sebagai modal usaha tidak bisa ditarik sa'enae dhewe.

Di sini jelas bahwa tujuan kita menabung hanya untuk menjamin harta kita sendiri. Bahkan kita berharap harta kita bertambah (tanpa usaha yg sepadan). Kita egois dan serakah. Itulah yang disebut dengan manusia ekonomi, homo economicus.

Teori ekonomi konvensional dibangun salah satunya dengan asumsi dasar bahwa manusia ekonomi, homo economicus, adalah makhluk serakah dan egois. Dengan keserakahaannya, manusia akan terus mengejar nilai tambah, yang akan berakibat terjadinya transaksi2 ekonomi, dan ekonomi menjadi tumbuh. Inilah doktrin ekonomi konvensional.

Hal tersebut sangat berbeda dengan ekonomi islami. Memang, manusia (ekonomi) islami, homo islamicus, juga selalu mengejar nilai tambah. Tapi, tidak hanya nilai tambah di dunia, tapi juga di akhirat. Inilah yang disebut falah. Dalam mengejar falah, nilai moral wajib ada. Nilai yang awalnya sempat coba dimasukkan Adam Smith dalam bukunya yang pertama, Theory of Moral Sentiment, sebelum akhirnya dihapuskan dalam buku berikutnya, Wealth of Nations, dan yang terakhir inilah yang menjadi landasan  bangunan ekonomi konvensional. Dengan masuknya nilai moral dalam ekonomi, pertumbuhan ekonomi akan menjadi pertumbuhan yang adil. Nah, dinar emas akan menjadi salah satu alat pendukung tumbuh kembangnya ekonomi adil sejahtera.

Jujur saja, sulit rasanya untuk menjelaskan sistem dinar emas tanpa membuat novel (^_^;). Bagi yang masih kurang puas, saya sangat merekomendasikan untuk membaca buku Satanic Finance dan Dinar Solution (keduanya b.indonesia, judulnya doang english).

Sebagai penutup uraian ini, saya akan mengutip beberapa perkataan para "ahli" tentang emas sebagai uang.

Robert Mundell, 2 tahun sebelum ia menerima Nobel Ekonomi di tahun 1999, pernah berkata,
"Emas akan menjadi bagian dari sistem moneter internasional di abad ke-21"
Al-Makrizi (1364-1442) menekankan bahwa hanya emas dan perak yang bisa memerankan uang.
Ibnu Khaldun (1332-1395) berpendapat bahwa Allah telah menciptakan 2 logam berharga, emas dan perak, sebagai alat ukur untuk semua komoditas.
(sumber : Islamic Gold Dinar, Ahamed Kameel Mydin Meera)


Wallahu a'lam
Wallahul-musta'an


------------------------------------------------------------------
*Fractional Reserve Requirement atau Fracitional Reserve Banking System adalah sistem yang membolehkan bank hanya menyimpan (reserve) sebagian kecil (fraction) dari dana nasabah yg diterimanya, sedangkan sisanya boleh dipinjamkan ke nasabah lain.

Jika FRR di suatu negara adalah 10% (tiap negara bisa berbeda), maka bank yang menerima deposit 100 juta, boleh meminjamkan 90 jt keluar. Jika peminjam kemudian menulis cek ke seseorang sebesar 90 jt, bank pengurus cek tersebut dapat meminjamkan keluar uang 81 juta.

Bila proses tersebut berjalan terus menerus, maka akan membuat uang yang tercatat di pembukuan dunia perbankan menjadi 100 +  90 +81 + 72.90 +...= 1 miliar (100jt/10% = 1 miliar). Padahal uang yang benar-benar ada hanyalah 100 juta. Fyi, bank syariah sekalipun tidak luput dari sistem ini.

2 comments:

  1. Are u sure mengenai 100 juta jadi 1 miliar ? Bukannya kalau yg 90jt dipinjam sebuah bank,
    bank tersebut akan dicatat mempunyai DEBT ? Dan uang ini memang dilaporkan sebagai DEBT makanya ada Debt ratio ? Termasuk uang-uang nasabah pun dicatat sebagai "Dana Pihak Ketiga" ?

    ReplyDelete
  2. 100 juta akan menjadi 1 miliar klo proses FRR thd uang 100 juta tersebut tjadi terus menerus (tak terhingga). Dan 1 miliar itu adalah uang dalam catatan.
    Untuk lebih jelasnya silankah cek di http://en.wikipedia.org/wiki/Reserve_requirement

    ReplyDelete