Penjelasan seputar perbedaan dalam penggunaan emas sepuhan dan atau yang sedikit bagi laki-laki..
Cukup panjang.. :)
Dikutip dari tulisan tentang "Kode Etik Pengembangan Modal"
sumber : http://www.alsofwah.or.id/cetakekonomi.php?id=69&idjudul=67
---------------------------------------
Oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi
Bahasan Pertama:
Larangan Memperdagangkan Barang Haram
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa asal dari jual beli adalah halal, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya, berdasarkan firman Allah, artinya:
"Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba." (Al-Baqarah: 275).
Telah diriwayatkan nash-nash atau dalil tegas yang mengha-ramkan banyak bentuk jual beli, seperti jual beli minuman keras, bangkai, babi dan sejenisnya. Tidak diragukan lagi bahwa apabila Allah mengharamkan sesuatu, pasti Allah juga mengharamkan menjualnya. Maka semua keuntungan yang berasal dari penjualan itu juga haram, karena dianggap cara mencari rizki yang kotor, berasal dari usaha yang rusak. Di antara nash-nash yang menun-jukkan kesimpulan itu adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Jabir y bahwa ia pernah mendengar Rasulullah a bersabda:
"Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual minuman keras, bangkai, daging babi dan patung."
Dalam lanjutan hadits:
"Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi (terdahulu). Ketika Allah mengharamkan lemak hewan, mereka melelehkannya kemudian menjual dan memakan hasilnya."
Dari Ibnu Abbas y diriwayatkan bahwa Nabi a pernah bersabda:
"Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi. Ketika Allah meng-haramkan lemak hewan, mereka kemudian menjual dan memakan hasilnya. Dan sesungguhnya apabila Allah melarang suatu kaum memakan sesuatu maka Ia pun melarang hasilnya."
Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas y bahwa ada seorang lelaki yang memberi hadiah kepada Nabi satu wadah minuman keras. Nabi a bertanya kepadanya, "Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah telah mengharamkan minuman keras." Orang itu menjawab: "Tidak." Lalu lelaki itu membisikkan sesuatu kepa-da temannya. Rasulullah a bertanya lagi, "Apa yang engkau bisikkan kepadanya?" Lelaki itu menjawab, "Aku menyuruhnya menjualnya saja." Beliau bersabda,
"Sesungguhnya yang telah diharamkan oleh Allah untuk diminum juga diharamkan untuk dijual." Maka lelaki itupun membuka tutup wadah minuman itu dan menumpahkan seluruh isinya.
Dari Aisyah i diriwayatkan, bahwa ketika diturunkan ayat-ayat terakhir surat al-Baqarah, Rasulullah a keluar dan bersabda,
"Diharamkan memperdagangkan minuman keras. "
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas y bahwa Ibnu Abbas menceritakan, "Umar y pernah mendengar berita bahwa ada seorang lelaki yang menjual minuman keras. Beliau berkata, 'Semoga Allah melaknat si Fulan itu. Apa dia tidak mengetahui bahwa Rasulullah a telah bersabda, 'Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi. Ketika Allah mengharamkan lemak hewan, mereka mengolahnya kemudian menjual dan memakan hasilnya.' Arti mengolahnya di sini adalah melelehkannya."
Komoditi yang diharamkan itu asalnya tidaklah memiliki nilai jual alias tidak berharga menurut syariat. Karena nilai jual itu ditentukan oleh penghalalan syariat, bukan sekedar bisa diterima dan dinilai memiliki harga jual oleh masyarakat.
Amatlah jelas bahwa persoalan ini merupakan keistimewaan ekonomi Islam. Karena ekonomi buatan manusia tidak membeda-kan antara yang halal dengan yang haram. Bagi mereka sama saja antara proyek perjudian dengan proyek pembangunan, karena mereka telah mencampakkan segala macam kode etik dari perhi-tungan mereka secara total.
Perdagangan Perhiasan Emas dan Perak
Termasuk yang berkaitan dengan pembicaraan tentang per-dagangan komoditi haram atau barang-barang syubhat yang amat perlu untuk diketahui dan dikaji secara mendetail hal-hal yang masih samar di antaranya adalah perdagangan yang amat populer sekarang ini dengan adanya trend kaum lelaki yang mengenakan (memakai) perhiasan emas, baik itu emas murni atau sekedar sepuhan emas. Perdagangan itu menjadi sebuah perniagaan yang amat menguntungkan sekali dan memberikan banyak uang kepada para pedagangnya. Sejauh mana perdagangan itu diboleh-kan? Apakah hukumnya sudah pasti sehingga tidak pantas lagi diperdebatkan dan tidak ada lagi perselisihan di dalamnya? Atau masih termasuk perkara syubhat dan masalah yang menjadi objek ijtihad? Itulah yang kami canangkan untuk dijelaskan dalam lembar-lembar berikut ini.
Arti Memakai
Arti pakaian atau perhiasan dalam konteks ini adalah segala sesuatu yang melekat di badan dan dikenakan, atau melekat di pakaian itu sendiri sehingga terlihat.
Allah q berfirman:
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi 'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang baik." (Al-A'raf: 26).
Allah juga berfirman:
"Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperangan; Maka hendaklah kamu bersyukur(kepada Allah)."(Al-Anbiya’: 80).
Pakaian adalah yang biasa dikenakan, baik itu baju atau baju besi.
Diharamkannya Emas Murni Bagi Kaum Lelaki
Para ulama telah bersepakat tentang diharamkannya emas murni bagi kaum lelaki, baik itu yang berbentuk cincin, gelang, mahkota dan sejenisnya. Karena banyak hadits-hadits yang shahih dan tegas yang mengharamkan emas murni itu bagi mereka, bahkan mengancam kaum lelaki yang mengenakannya. Di antara dalil-dalil itu misalnya:
Rasulullah a melarang mengenakan cincin emas. Diri-wayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dengan sanad kedua perawi tersebut, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi melarang me-ngenakan cincin emas. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim juga, dari al-Barra bin Azib bahwa ia menceritakan, "Rasulullah a melarang tujuh hal: mengenakan cincin emas, atau kalung emas, sutera, istibraq (sejenis sutera tebal), dibaj (sutera, model lain), maitsirah berwarna merah, qassiy dan bejana perak."
Demikian juga sabda Nabi a yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan yang lainnya, dari Abu Musa al-Asy'ari:
"Diharamkan mengenakan sutera dan emas bagi kaum lelaki umatku, namun dihalalkan bagi kaum wanita mereka."
Diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan yang lainnya, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah a pernah mengambil sehelai sutera dan meletakkannya di tangan kanan, lalu mengambil emas dan meletakkan di tangan kiri, kemudian beliau bersabda:
"Sesungguhnya dua barang ini diharamkan untuk kaum lelaki umatku."
Para ahli hadits telah menjadikan pengharaman kedua barang itu sebagai judul bab dalam buku-buku mereka.
Dalam Shahih Muslim disebutkan, Bab: Diharamkannya cincin emas bagi kaum lelaki dan dihapusnya hukum pembo-lehannya di awal Islam.
Dalam Sunan an-Nasa’I disebutkan, Bab: Diharamkannya mengenakan emas dan diharamkannya emas bagi kaum lelaki.
Dalam Sunan Ibnu Majah, Bab: Larangan mengenakan cincin emas.
Menghiasi Pakaian dengan Emas dan Perak
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghiasi pakaian dengan emas dan perak. Ada beberapa pendapat di kala-ngan mereka:
Ada yang berpendapat hukumnya boleh apabila hanya sedi-kit dan hanya sebagai hiasan sampingan, bukan menjadi tujuan utama. Ini adalah pendapat kalangan Hanafiyah:
Ada juga ulama yang membatasi hiasan yang sedikit dan hanya sampingan itu, bahwa ukurannya juga hanya empat jengkal saja atau kurang.
Ada juga yang mengharamkannya secara mutlak. Ini adalah pendapat kalangan Syafi'iyah dan Malikiyah.
Ada juga ulama yang mengharamkan hiasan emas secara mutlak, namun membolehkan perak bila jumlahnya sedikit.
Ada juga yang mengharamkan hiasan emas secara mutlak dan membolehkan hiasan perak juga tanpa batasan. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm, al-Gazhali dan sebagian ulama Syafi'iyah.
Ada juga yang membolehkan emas bila jumlahnya sedikit dan hanya sebagai hiasan tambahan, kalau jumlahnya hanya pa-ling banyak empat jengkal atau kurang, namun membolehkan hiasan perak tanpa batasan sama sekali. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah dan ulama yang mengikuti pendapat beliau.
Sesuai dengan konsekuensi teori yang ada, pendapat ter-akhir inilah yang paling tepat, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Adapun dibolehkannya emas dalam jumlah sedikit adalah berdasarkan dalil-dalil berikut:
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, Abu Daud dan an-Nasa’i dari hadits Muawiyah bahwa Rasulullah a me-larang menggunakan emas kecuali yang terpotong-potong.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti terpotong-potong: apakah artinya berjumlah sedikit sebesar cincin wanita, kalung dan antingnya? Atau yang sedikit dan menjadi hiasan tambahan bukan hiasan utama bagi kaum lelaki, seperti bendera, hiasan telapak tangan dan sejenisnya? Yang membuktikan bahwa artinya adalah yang sedikit dan menjadi hiasan tambahan bukan hiasan utama bagi kaum lelaki yaitu dalil berikut:
Emas yang dibolehkan untuk kaum wanita bersifat umum, baik itu yang terpotong-potong maupun yang utuh.
Bahwa berbagai riwayat lain dari hadits itu mengunggulkan pendapat bahwa yang dimaksud dalam hadits itu adalah kaum lelaki, bukan kaum wanita. Karena di situ digabungkan antara haramnya sutera dengan haramnya emas. Padahal jelas bahwa keduanya itu halal bagi kaum wanita. Sehingga larangan dan pengecualian itu hanya untuk kaum lelaki. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dari Muawiyah bahwa Rasulullah a melarang menge-nakan sutera dan emas kecuali dalam bentuk potongan." Yang dalam bentuk potongan itu adalah emas dan perak. Dialamatkan-nya larangan mengenakan sutera untuk kaum lelaki dan larangan mengenakan emas untuk kaum wanita, jelas kesimpulan yang bertentangan dengan alur kalimat dan bertentangan juga dengan keumuman berbagai dalil yang menjelaskan dibolehkannya emas bagi kaum wanita.
Bahwasanya Nabi a menjadikan sutera dan emas dalam satu hukum melalui sabda beliau, "Diharamkan mengenakan sutera dan emas bagi kaum lelaki umatku, namun dihalalkan bagi kaum wanita mereka."
Emas yang hanya dijadikan sebagai hiasan tambahan dibo-lehkan sebagaimana sutera yang dijadikan sebagai hiasan tam-bahan. Emas adalah salah satu dari dua barang yang diseiringkan oleh Nabi dalam menyebutkan keharamannya bagi kaum lelaki, tidak bagi kaum wanita. Maka keringanan yang diberikan pada salah satunya bila jumlahnya sedikit, juga berlaku bagi jenis lain-nya dengan cara yang sama.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits Umar bin al-Khaththab y bahwa Nabi a pernah melarang me-ngenakan sutera kecuali seukuran dua jari, tiga atau empat jari."
Demikian juga yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Asma binti Abi Bakar bahwa Rasulullah pernah mengenakan jubah yang memiliki dua lubang lengan yang dihiasi dengan sutera tipis.
Indikator dalam kedua hadits ini bahwa masing-masing dari motif, hiasan dan rumbai-rumbai (dari sutera) dibolehkan karena jumlahnya sedikit dan hanya merupakan hiasan tambahan. Emas dan sutera sama derajat keharamannya. Keringanan motif dan rumbai-rumbai dari sutera juga merupakan keringanan untuk emas dengan indikasi dalil yang sama.
Syariat telah memberikan keringanan pada rumbai-rum-bai. Rumbai-rumbai itu sendiri terkadang terbuat dari campuran sutera dan terkadang dari campuran emas.
Dalil-dalil umum yang dijadikan alasan oleh mereka yang melarangnya dikhususkan oleh hadits-hadits larangan terhadap emas selain yang terpotong-terpotong seperti disebut sebelumnya. Keumuman dalil-dalil yang mengharamkan sutera juga dikhusus-kan oleh riwayat yang memberi keringanan untuk sutera dengan ukuran dua, tiga atau empat jengkal.
Adapun alasan dengan larangan Rasulullah terhadap orang yang mengenakan cincin dari emas, itu ditafsirkan bila cincin ter-sebut terbuat dari emas saja, bukan jumlah sedikit yang hanya menjadi hiasan sampingan. Kesimpulan demikian diambil untuk mengkompromikan antara nash-nash yang ada dan untuk dapat mengamalkan semua dalil yang ada.
Sementara alasan bahwa emas yang digunakan sebagai hiasan itu meskipun sedikit tetapi bisa menyebabkan terjadinya tabdzir dan sikap sombong. Itu hanyalah dalil logika yang bertentangan dengan nash, sehingga tidak dapat dijadikan acuan. Bisa dijawab, bahwa apabila sampai pada batas bermewah-mewahan, maka itu dilarang berdasarkan nash-nash umum yang mengharamkan (kaum lekaki) mengenakan emas. Namun selain itu, tetap dibolehkan.
Sementara berkaitan dengan dibolehkannya mengenakan perhiasan perak tanpa batasan sebagai perhiasan mubah, maka itu berdasarkan dalil-dalil berikut:
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dan Abu Daud dari hadits Abu Qatadah bahwa Nabi a pernah bersabda:
"Barangsiapa yang ingin mengalungi orang yang dikasihinya dengan kalung dari api neraka, maka hendaknya ia mengalungi kekasihnya dengan kalung dari emas. Barangsiapa yang ingin mengenakan gelang dari api Neraka kepada orang yang dikasihinya, hendaknya ia mengenakan kepadanya gelang dari emas. Dan barangsiapa yang ingin mengenakan cincin dari api Neraka kepada orang yang dika-sihinya, hendaknya ia mengenakan kepadanya cincin dari emas. Namun hendaknya kalian mengenakan perak. Gunakanlah perak itu untuk bermain-main."
Artinya, silakan kalian gunakan sekehendak hati kalian.
Yang dimaksudkan dengan kekasih dalam hadits itu adalah anak bayi, bukan wanita atau istri. Karena anak kecillah yang biasanya dipakaikan perhiasan, sementara orang dewasa menge-nakannya sendiri.
Sementara secara etimologi, kata habib (kekasih) yang dise-butkan dalam hadits timbangan katanya adalah fa'il yang memi-liki arti sebagai objek (yang dikasihi). Kalau kata ini digunakan sebagaimana layaknya nama-nama biasa, bila yang diinginkan adalah jenis kelamin perempuan, maka harus ditambahkan huruf ta' diakhirnya, menjadi fa'ilah atau habibah agar tidak menjadi rancu. Karena di sini kata itu tidak menggunakan ta', maka yang dimaksudkan adalah jenis kelamin laki-laki, bukan wanita.
Dalil lain adalah penggunaan kaidah istishab bara’ah ashliyah (asal dari segala sesuatu dihukumi dengan hukum terakhir yang melekat padanya sebelum mengalami perubahan). Asal dari sega-la yang diciptakan oleh Allah adalah halal kecuali bila ada dalil yang mengalihkannya dari halal menjadi haram.
Lemahnya qiyas perak dengan emas dalam keharaman. Karena qiyas itu bertolakbelakang dengan nash. Dalam hadits sudah disebutkan dibolehkannya perak untuk dijadikan perhiasan secara terpisah, seperti cincin, atau hanya sebagai hiasan sam-pingan, seperti hiasan pada sebilah pedang. Maka mana mungkin bisa dibuat qiyas dengan adanya perbedaan yang jelas antara emas dan perak ini?
Lemahnya alasan yang menyamakan antara pakaian berhias perak dengan emas karena kedua hiasan itu sama-sama diharam-kan dalam bentuk bejana. Karena qiyas itu juga dengan perbedaan alasan yang jelas. Bab tentang pakaian itu cakupannya lebih luas dari bab tentang bejana. Pakaian emas dan perak dibolehkan seca-ra mutlak bagi kaum wanita, tanpa ada perbedaan pendapat. Juga dibolehkan bagi kaum lelaki sebatas yang diperlukan saja. Emas sedikit yang hanya menjadi hiasan sampingan dibolehkan. Semen-tara perak justru dibolehkan sebagai perhiasan tersendiri maupun sebagai hiasan sampingan. Sedangkan pembolehan perak secara bebas dalam masalah bejana adalah tidak ada.
Adapun hadits: "Silahkan buat dari perak, tetapi tidak boleh lebih berat dari satu mitsqal." adalah hadits lemah yang tidak bisa dijadikan hujjah, apalagi bila harus bertentangan dengan dalil-dalil umum lainnya.
Pakaian Bercat Emas dan Perak
Arti Sepuh dan Cat Serta Perbedaan Antara Keduanya
Mayoritas ulama berpendapat bahwa sepuhan dengan cat itu sama saja. Menyepuh sesuatu, artinya mencatnya dengan emas atau perak.
Namun kalangan Hambaliyah membedakan antara kedua-nya. Mereka menyatakan, "Sepuh artinya menaruh sesuatu ke dalam emas atau perak yang sudah dicairkan untuk mengambil warnanya. Adapun cat adalah mengubah emas atau perak men-jadi semacam lempengan tipis lalu digunakan untuk mengecat atau menyampul sesuatu.
Hukum Mengenakan Sesuatu yang Disepuh dengan Emas dan Perak
Ada dua pendapat di kalangan ahli fiqih:
Pendapat pertama: haram, kecuali warnanya sudah luntur dan tidak tersisa sedikitpun dengan cara dibakar, karena dengan cara itu hilanglah sebab keharamannya, seperti sikap berlebihan, sikap sombong dan sikap yang menyakiti hati orang-orang yang miskin. Ini adalah pendapat yang kuat menurut kalangan Hambaliyah.
Pendapat kedua: Boleh, bila tidak berupa emas atau perak murni. Karena sepuhan itu adalah hiasan sampingan yang terkon-sumsi sehingga tidak dikatakan murni. Sesuatu yang terkonsumsi dianggap tidak ada, kalaupun warnanya tetap ada tetapi tidak dijadikan ukuran. Ini adalah madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan juga pendapat yang zhahir dari kalangan Syafi'iyah.
Yang paling tepat menurut penulis adalah pendapat tera-khir, berdasarkan pendapat dalam persoalan sebelumnya yang juga penulis unggulkan, yakni dibolehkannya mengenakan emas dengan jumlah sedikit dan dibolehkannya perak tanpa batasan ukuran. Wallahu a'lam.
Dengan dasar itu semua:
Kalau dari emas murni seperti yang berbentuk jam misalnya, hukumnya haram bagi kaum lelaki tanpa ada perbedaan pendapat. Kalau berupa perhiasan wanita, seperti kalung dan gelang lalu dikenakan oleh kaum lelaki, maka terkumpullah alasan keharaman lain, yakni menyerupai wanita. Orang-orang yang meniru kaum wanita dilaknat melalui lisan Nabi a.
Kalau berasal dari perak murni, tidak menjadi masalah me-nurut pendapat yang paling benar di kalangan ulama. Lebih jelas lagi kehalalannya bila hanya berupa sepuhan perak saja.
Kalau hanya sepuhan emas atau hanya mengandung po-tongan emas kecil, juga dibolehkan menurut pendapat ulama yang paling benar. Namun kalau jumlahnya banyak, maka menjadi ha-ram hukumnya.
Memberi Hiasan Emas dan Perak Kepada Anak Kecil
Yang dimaksud dengan anak kecil adalah anak yang belum baligh dari kalangan kaum lelaki. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memberikan hiasan emas dan perak kepada mereka. Ada dua pendapat di kalangan mereka:
Pertama: Haram. Itulah pendapat yang dijadikan sandaran Abu Hanifah dan Imam Ahmad.
Di antara dalil mereka dalam hal itu yaitu:
Dalil-dalil umum yang menunjukkan haramnya emas dan sutera bagi kaum lelaki. Pengharaman itu tidak dikecualikan bagi umur tertentu. Namun dosanya ditanggung oleh orang yang memakaikan emas itu kepada si anak kecil, karena kaum mus-limin diperintahkan untuk memelihara anak-anak mereka.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Sabda Nabi a kepada Hasan bin Ali ketika anak kecil itu memakan sebi-ji kurma sedekah (sedekah itu haram bagi sanak keluarga Rasul). Beliau bersabda, "Puh, puh." Yakni agar anak itu melepehkan atau meludahkan kurma itu kembali. "Tidakkah engkau tahu bahwa kita dilarang memakan sedekah?"
Diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadits Jabir bahwa ia berkata, "Kami biasa mengeluarkan kembali makanan meski sudah berada di mulut anak-anak kecil, lalu kami buang ke selokan."
Diriwayatkan juga bahwa Umar, Ibnu Mas'ud dan Hudzai-fah pernah merobek pakaian sutera yang dikenakan anak kecil. Mereka tentu saja tidak secara nekat merobek dan merusak milik orang lain kalau barang itu adalah halal.
Kalau sesuatu itu haram dikenakan, maka juga haram dipa-kaikan kepada orang lain. Seperti halnya minuman keras, haram diminum dan haram juga diminumkan kepada orang lain.
Semua kisah di atas mengandung pelajaran perlunya mem-biasakan anak kecil berpegang pada hukum-hukum syariat sehingga ia terbiasa dan mengenalnya secara baik.
Pendapat kedua: boleh. Yakni selama mereka masih anak-anak hingga mereka dewasa. Ini adalah pendapat kalangan Malikiyah dan Syafi'iyah.
Di antara dalil-dalil mereka terhadap keputusan itu adalah:
Karena anak kecil belum mencapai usia taklif. Ia terbebaskan dari beban hukum. Pendapat itu dibantah bahwa anak kecil itu meskipun belum mendapatkan beban taklif., akan tetapi walinya diperintahkan untuk membantu dirinya menegakkan hukum Allah dan RasulNya. Allah q berfirman:
Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluar-gamu dari siksa Neraka." (At-Tahrim: 6).
Kita telah menyaksikan bagaimana Rasulullah mencegah al-Hasan memakan kurma dari kurma sedekah bahkan beliau mengeluarkan kurma yang sudah berada dalam mulut al-Hasan.
Diqiyaskannya memakai sutera dan emas ini dengan minuman keras dan babi jelas merupakan qiyas dengan alasan yang berbeda (qiyas batil). Karena minuman keras dan babi memang secara mutlak tidak boleh dimiliki. Lain halnya dengan emas dan sutera. Alasan ini dibantah, bahwa perbedaan tersebut sama sekali tidak berpengaruh, karena adanya nash-nash shahih yang menjelaskan bahwa wali anak kecil dituntut untuk mengajak si anak mening-galkan perbuatan-perbuatan haram dan untuk melaksanakan per-buatan wajib. Perbuatan para sahabat sendiri telah diriwayatkan sebagai contoh praktis dari bimbingan Nabi a yang mulia ini.
Yang jelas bagi kami melalui pemaparan ini adalah keung-gulan pendapat kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah tentang ha-ramnya memberi hiasan emas dan sutera kepada anak kecil. Perbuatan anak-anak kecil itu sama hukumnya dengan perbuatan orang dewasa. Hanya saja tanggungjawab dan dosanya ditang-gung oleh para wali mereka. Wallahu a'lam.
tfs mas.
ReplyDeletesatu pertanyaan ttg pernyataan maitsirah berwarna merah. maksudnya ga boleh makai baju warna merah atau apa ya?
tks
setahu saya itu bukan warna merahnya yg dilarang, tp zatnya tersebut.
ReplyDeletewallahu a'lam
tfc