Wednesday, 11 March 2009

Aktif Mengurangi Kerusakan adalah Tuntutan Syariat

Dr. Abdul Karim Zaidan, salah seorang ulama dan dai berkebangsaan Irak, dalam makalahnya berjudul “Demokrasi dan Keikutsertaan Ummat Islam dalam Pemilu” yang disampaikan pada Mu’tamar Rabithah ‘Alam Islami di Makkah 21 Syawwal 1422 H, mengambil kesimpulan hukum dari peristiwa jiwar tersebut bahwa seorang muslim diperbolehkan mengambil produk hukum atau peraturan dari sistem yang tidak islami yang bermanfaat bagi dakwah islamiyyah.

“Hikmah dibolehkannya mengambil perlindungan dari orang kafir adalah untuk menolak bahaya dan kehancuran yang mengancam seorang muslim dengan cara yang tidak mencoreng nilai dan hukum Islam. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi dibolehkannya mengambil aspek tertentu dari nizham (sistem) kekufuran yang bermanfaat bagi ummat Islam. Artinya, seorang muslim yang tinggal di negara kafir diperbolehkan mengambil sebagian produk undang-undang mereka jika hal itu membawa suatu maslahat atau dapat menolak suatu bahaya dan ancaman baginya atau bagi ummat Islam yang tinggal di sana.”

Lebih jauh lagi, Dr. Abdul Karim Zaidan menghubungkan masalah jiwar ini dengan keterlibatan seorang muslim yang tinggal di negara-negara barat dalam pemilu. “Dengan dasar ini, maka seorang muslim yang tinggal di negara-negara non muslim yang memiliki hak pilih dalam pemilu –pemilu legislative– diperbolehkan memilih seorang kafir sebagai anggota parlemen yang diharapkan dapat memberi manfaat atau menolak mafsadat baginya atau kaum muslimin yang lain di negara tersebut atau kaum muslimin di negara lain, minimal memilih orang kafir yang memiliki sikap al-hiyad (obyektif) terhadap problematika kaum muslimin. Karena jika kita tidak dapat merealisasikan semua maslahat atau menolak semua kerusakan, maka minimal adalah berusaha mengurangi kerusakan yang diantara realisasinya adalah ikut memilih orang yang diharapkan dapat mewujudkan hal tersebut. Apalagi jika dianalisis bahwa kekalahannya mengakibatkan kemenangan orang yang lebih buruk dan lebih banyak bahayanya bagi kaum muslimin. Sikap pasif atau golput adalah sikap negatif, juga menandakan tak ada upaya mengerahkan kemampuan untuk mengurangi mafsadat yang mengancam kaum muslimin, dan sikap ini tentu saja tidak dianjurkan oleh syariat jika kita tidak mau mengatakan dilarang.” (http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?cid=1122528618724&pagename=IslamOnline-Arabic-Ask_Scholar%2FFatwaA%2FPrintFatwaA)

Bahkan Syaikh Muhammad Ahmad Ar-Rasyid, seorang ulama dan tokoh pergerakan yang senegara dengan Dr. Abdul Karim Zaidan, setelah mengemukakan berbagai argumentasi dengan tegas mewajibkan kaum muslimin di negara-negara non muslim menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.

“Oleh karenanya, berdasarkan timbangan syariah, pemahaman ilmu-ilmu syar’i, dan fiqh imani yang saya miliki, saya berpendapat bahwa keikutsertaan seorang muslim dalam pemilu untuk memberikan suara kepada calon-calon pemimpin dari kekuatan politik yang bersikap moderat di negara-negara barat yang Nasrani telah menjadi kewajiban menurut syariat Islam disebabkan oleh adanya ancaman dari kekuatan-kekuatan ekstrem yang memusuhi Islam (jika mereka menang). Dan fatwa saya ini berlaku juga untuk negara-negara timur jauh yang beragama Budha, India dan Srilanka, dan Negara manapun yang menghadapi persaingan politik dan situasi yang sama.”  (http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?cid=1122528618724&Pagename= IslamOnline- Arabic-Ask_Scholar%2FFatwaA%2FPrintFatwaA).

Jika demikian halnya dengan pemilu di negara-negara non muslim, tentu para da’i di Indonesia tidak ada yang tidak bersemangat membela dan mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya di pemilu untuk memperbesar kemaslahatan dakwah.

No comments:

Post a Comment