Tuesday, 3 March 2009

demokrasi ada dalam islam?

Demokrasi yg saya maksud di sini adalah satu orang satu suara (ulama dan non ulama sama saja). Ternyata ada yg menyebutkan bahwa hal ini pernah dipraktekkan di zaman sahabat...
Saya jadi merasa perlu memikirkan ulang tulisan saya di postingan bbrp waktu yg lalu nih....

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Satu Orang Satu Suara (Ulama dan non-Ulama sama saja)
Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

Sebelum wafat, Amirul Mukminin Umar bin Khathab RA membentuk tim kecil
yang terdiri dari enam orang sahabat yang masih tersisa dari sepuluh
sahabat yang dijamin masuk surga ditambah Abdullah bin Umar. Tim
bertugas memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi
penggantinya. Batas waktu hanya tiga hari, terhitung sejak meninggalnya
Umar.

Tim kecil yang terdiri dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin
bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar –Radhiyallahu ‘Anhum– ini pun
bersidang. Zubair memberikan suaranya kepada Ali. Sa’ad memberikan
suaranya untuk Abdurrahman. Sedangkan Thalhah menyerahkan suaranya
kepada Utsman. Adapun Ibnu Umar, dia tidak mempunyai hak memilih dan
dipilih.

Calon khalifah mengerucut pada tiga orang; Utsman, Ali, dan Abdurrahman.
Tetapi, Abdurrahman mengundurkan diri, sehingga kandidat pun tinggal
Utsman dan Ali. Anggota tim sepakat menyerahkan finalisasi urusan
pemilihan khalifah ini kepada Abdurrahman.

Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, bahwasanya
Abdurrahman menggunakan batas waktu tiga hari secara maksimal. Dia
meminta masukan dari orang-orang Madinah, mana yang mereka pilih antara
Utsman dan Ali. Hampir semua lapisan masyarakat ditanya; sahabat senior,
para tokoh, tentara, laki-laki dan perempuan. Anak-anak yang sedang
belajar di kuttab juga ikut ditanya. Bahkan, orang-orang yang baru
datang ke Madinah serta orang-orang Badui juga turut diminta pendapatnya.

Tidak ada perbedaan dalam “pemilihan umum” yang dilakukan Abdurrahman.
Entah itu sahabat senior, orang Badui, pendatang, laki-laki, perempuan,
maupun anak-anak, semuanya sama; satu orang satu suara. Karena mayoritas
mereka memilih Utsman, maka Utsman pun diangkat sebagai khalifah
berdasarkan suara mayoritas.

Tidak ada seorang pun yang menentang pengangkatan ini. Juga tidak ada
yang mempermasalahkan persamaan suara seorang sahabat utama dengan suara
orang Badui atau antara suara pria dan wanita. Sebagaimana tidak ada
perbedaan di hadapan hukum, dalam memilih pemimpin pun semua orang Islam
sama; masing-masing satu suara. Bagaimanapun, perbedaan derajat ulama
dan non-ulama atau antara orang bertakwa dan tidak bertakwa adalah di
hadapan Allah, bukan di hadapan manusia.

Wallahu a’lam bish-shawab.

17 comments:

  1. Sebenarnya udah tahu kisahnya, tapi baru ngeh sekarang kalo itu pemilu juga... he he he....

    ReplyDelete
  2. perhatikan satu hal kawan, katakanlah hal ini sebagai dalil bolehnya demokrasi sistem satu orang satu suara..namun yang perlu digaris bawahi ialah mereka satu manhaj dan satu pemahaman. sekalipun badui, sekalipu pria, wanita, dari mana saja..satu manhaj..sekarang?apa bisa di praktekkan demikian kala manhajnya sudah tidak sama pula..

    wallahu 'alam bii shawwab..

    ReplyDelete
  3. Loh kalo pemahamannya sama ya nggak akan ada Pemilu itu dong... lah wong satu fikiran... justru karena ada perbedaan pendapat maka ada pemilihan....

    Lagian emang kalo manhaj nya beda terus sirah sahabatnya juga beda gitu? atau ada sahabat nabi versi manhaj lain? jadi bingung.

    ReplyDelete
  4. baiklah saya rinci lagi, satu manhaj dan satu pemahaman ialah kekuatan mereka untuk iltizam diatas sunnah...bersungguh-sungguh diatas sunnah...apakah generasi saat ini sudah sama dengan generasi yang katakanlah melakukan pemilu tersebut?

    ReplyDelete
  5. yang menarik sebenarnya ada kata anak2 di sana.. sulit rasanya memastikan iltizamnya seorang anak..
    satu hal lagi, Umar mati dibunuh, ini menunjukkah benih2 fitnah sudah mulai muncul. Bukan tidak mgkn sahabat Abdurrahman (krn ketikdatahuannya) juga mengambil pendapat dr orang2 yg belum jelas iltizamnya di atas sunnah (krn memang tdk ada pernyataan ttg iltizamnya seluruh asal suara yg diambil sahabat Abdurrahman)

    ala kulli hal, ana pribadi merasa perlu mengkaji ulang ttg hal ini...

    ReplyDelete
  6. pria-wanita, pintar-bodoh, muslim-kuffar punya hak suara yg sama?

    ReplyDelete
  7. kalau urutan proses :
    formatur (memilih 2 yang terbaik) diteruskan dengan---> popular vote (karena cuma masalah popular atau tidak, anak-anak sah-sah saja mungkin)

    Indahnya, penduduk madinah hanya memilih terpopuler diantara 2 mutiara.

    Mestinya lebih mudah memilih satu mutiara diantara batu kerikil
    wallahu alam..

    ReplyDelete
  8. *membaca komentar akh albykazi* ooo.. jadi itu alasan mengapa menolak pemilu??? hmm.. kalau memang demikian alasannya, saya sependapat dengan akh robin.

    ReplyDelete
  9. kl berdasarkan tulisan di atas yg bisa disimpulkan adalah pria-wanita dan pintar-bodoh (badui itu kurang terdidik spemahaman saya). adapaun ttg muslim-kuffar, silahkan ditanya langsung ke ustadznya mas.. :)
    abduzulfidar.multiply.com

    saya lebih pada melempar wacana...
    saya pribadi melihat keikutsertaan pada pemilu lebih pada memilih yg terbaik di antara ketidaksempurnaan yg ada...

    ReplyDelete
  10. nice point akhi... menariknya memang di situ.

    tp sperti komentar ana di atas, ini sekedar wacana...
    poin yg sebenarnya lbh penting dibahas adalah bagaimana kita mewujudkan kebaikan di masyarakat dalam kondisi yg jahiliyah seperti sekarang..

    ReplyDelete
  11. trims atas sependapatnya.. :)
    insya Allah nanti saya coba lempar wacana lg yg mgkn lebih tepat didiskusikan...

    ReplyDelete
  12. Terima kasih sharing-nya mas :)

    ReplyDelete
  13. samasama
    cuma copy paste doang kok.. :)

    ReplyDelete
  14. Karena itu, diperlukan mata, telinga dan mata hati untuk melihat juga realitas yg ada.
    Yakinlah bahwa mereka (Muslimah da'iyah-red) yg masuk ke parlemen adalah untuk islahul hukumah secara periodik (proses-red).

    ReplyDelete
  15. melihat realitas memang penting...

    ReplyDelete