Demokrasi yg saya maksud di sini adalah satu orang satu suara (ulama dan non ulama sama saja). Ternyata ada yg menyebutkan bahwa hal ini pernah dipraktekkan di zaman sahabat...
Saya jadi merasa perlu memikirkan ulang tulisan saya di postingan bbrp waktu yg lalu nih....
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 Satu Orang Satu Suara (Ulama dan non-Ulama sama saja)
 Oleh: Abduh Zulfidar Akaha
 
 Sebelum wafat, Amirul Mukminin Umar bin Khathab RA membentuk tim kecil 
 yang terdiri dari enam orang sahabat yang masih tersisa dari sepuluh 
 sahabat yang dijamin masuk surga ditambah Abdullah bin Umar. Tim 
 bertugas memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi 
 penggantinya. Batas waktu hanya tiga hari, terhitung sejak meninggalnya 
 Umar.
 
 Tim kecil yang terdiri dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, 
 Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin 
 bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar –Radhiyallahu ‘Anhum– ini pun 
 bersidang. Zubair memberikan suaranya kepada Ali. Sa’ad memberikan 
 suaranya untuk Abdurrahman. Sedangkan Thalhah menyerahkan suaranya 
 kepada Utsman. Adapun Ibnu Umar, dia tidak mempunyai hak memilih dan 
 dipilih.
 
 Calon khalifah mengerucut pada tiga orang; Utsman, Ali, dan Abdurrahman. 
 Tetapi, Abdurrahman mengundurkan diri, sehingga kandidat pun tinggal 
 Utsman dan Ali. Anggota tim sepakat menyerahkan finalisasi urusan 
 pemilihan khalifah ini kepada Abdurrahman.
 
 Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, bahwasanya 
 Abdurrahman menggunakan batas waktu tiga hari secara maksimal. Dia 
 meminta masukan dari orang-orang Madinah, mana yang mereka pilih antara 
 Utsman dan Ali. Hampir semua lapisan masyarakat ditanya; sahabat senior, 
 para tokoh, tentara, laki-laki dan perempuan. Anak-anak yang sedang 
 belajar di kuttab juga ikut ditanya. Bahkan, orang-orang yang baru 
 datang ke Madinah serta orang-orang Badui juga turut diminta pendapatnya.
 
 Tidak ada perbedaan dalam “pemilihan umum” yang dilakukan Abdurrahman. 
 Entah itu sahabat senior, orang Badui, pendatang, laki-laki, perempuan, 
 maupun anak-anak, semuanya sama; satu orang satu suara. Karena mayoritas 
 mereka memilih Utsman, maka Utsman pun diangkat sebagai khalifah 
 berdasarkan suara mayoritas.
 
 Tidak ada seorang pun yang menentang pengangkatan ini. Juga tidak ada 
 yang mempermasalahkan persamaan suara seorang sahabat utama dengan suara 
 orang Badui atau antara suara pria dan wanita. Sebagaimana tidak ada 
 perbedaan di hadapan hukum, dalam memilih pemimpin pun semua orang Islam 
 sama; masing-masing satu suara. Bagaimanapun, perbedaan derajat ulama 
 dan non-ulama atau antara orang bertakwa dan tidak bertakwa adalah di 
 hadapan Allah, bukan di hadapan manusia.
 
 Wallahu a’lam bish-shawab.
 
  
tfs mas..
ReplyDeleteyaw, akh...
ReplyDeleteSebenarnya udah tahu kisahnya, tapi baru ngeh sekarang kalo itu pemilu juga... he he he....
ReplyDeleteperhatikan satu hal kawan, katakanlah hal ini sebagai dalil bolehnya demokrasi sistem satu orang satu suara..namun yang perlu digaris bawahi ialah mereka satu manhaj dan satu pemahaman. sekalipun badui, sekalipu pria, wanita, dari mana saja..satu manhaj..sekarang?apa bisa di praktekkan demikian kala manhajnya sudah tidak sama pula..
ReplyDeletewallahu 'alam bii shawwab..
Loh kalo pemahamannya sama ya nggak akan ada Pemilu itu dong... lah wong satu fikiran... justru karena ada perbedaan pendapat maka ada pemilihan....
ReplyDeleteLagian emang kalo manhaj nya beda terus sirah sahabatnya juga beda gitu? atau ada sahabat nabi versi manhaj lain? jadi bingung.
baiklah saya rinci lagi, satu manhaj dan satu pemahaman ialah kekuatan mereka untuk iltizam diatas sunnah...bersungguh-sungguh diatas sunnah...apakah generasi saat ini sudah sama dengan generasi yang katakanlah melakukan pemilu tersebut?
ReplyDeleteyang menarik sebenarnya ada kata anak2 di sana.. sulit rasanya memastikan iltizamnya seorang anak..
ReplyDeletesatu hal lagi, Umar mati dibunuh, ini menunjukkah benih2 fitnah sudah mulai muncul. Bukan tidak mgkn sahabat Abdurrahman (krn ketikdatahuannya) juga mengambil pendapat dr orang2 yg belum jelas iltizamnya di atas sunnah (krn memang tdk ada pernyataan ttg iltizamnya seluruh asal suara yg diambil sahabat Abdurrahman)
ala kulli hal, ana pribadi merasa perlu mengkaji ulang ttg hal ini...
pria-wanita, pintar-bodoh, muslim-kuffar punya hak suara yg sama?
ReplyDeletekalau urutan proses :
ReplyDeleteformatur (memilih 2 yang terbaik) diteruskan dengan---> popular vote (karena cuma masalah popular atau tidak, anak-anak sah-sah saja mungkin)
Indahnya, penduduk madinah hanya memilih terpopuler diantara 2 mutiara.
Mestinya lebih mudah memilih satu mutiara diantara batu kerikil
wallahu alam..
*membaca komentar akh albykazi* ooo.. jadi itu alasan mengapa menolak pemilu??? hmm.. kalau memang demikian alasannya, saya sependapat dengan akh robin.
ReplyDeletekl berdasarkan tulisan di atas yg bisa disimpulkan adalah pria-wanita dan pintar-bodoh (badui itu kurang terdidik spemahaman saya). adapaun ttg muslim-kuffar, silahkan ditanya langsung ke ustadznya mas.. :)
ReplyDeleteabduzulfidar.multiply.com
saya lebih pada melempar wacana...
saya pribadi melihat keikutsertaan pada pemilu lebih pada memilih yg terbaik di antara ketidaksempurnaan yg ada...
nice point akhi... menariknya memang di situ.
ReplyDeletetp sperti komentar ana di atas, ini sekedar wacana...
poin yg sebenarnya lbh penting dibahas adalah bagaimana kita mewujudkan kebaikan di masyarakat dalam kondisi yg jahiliyah seperti sekarang..
trims atas sependapatnya.. :)
ReplyDeleteinsya Allah nanti saya coba lempar wacana lg yg mgkn lebih tepat didiskusikan...
Terima kasih sharing-nya mas :)
ReplyDeletesamasama
ReplyDeletecuma copy paste doang kok.. :)
Karena itu, diperlukan mata, telinga dan mata hati untuk melihat juga realitas yg ada.
ReplyDeleteYakinlah bahwa mereka (Muslimah da'iyah-red) yg masuk ke parlemen adalah untuk islahul hukumah secara periodik (proses-red).
melihat realitas memang penting...
ReplyDelete