Di tengah keterpurukan umat Islam sekarang ini, serangan-serangan melalui medan perang pemikiran terasa begitu mudah merasuki otak-otak kaum muslimin. Meracuni pemikiran-pemikiran yang islami, sehingga ia keluar dari koridor-koridor Ilahi, dan menyalahi fitrahnya sebagai manusia. Mungkin tidak sedikit di antara kita yang (merasa) sudah mengenal medan perang ini, bahkan (merasa) turut berjuang di dalamnya. Jika demikian, maka pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana kita punya "rasa" yang benar dalam mengenali dan mengarungi medan tersebut? Yakinkah kita akan sensitivitas yang kita miliki dalam mendeteksi lawan dan serangan-serangannya?
Jangan-jangan kita termasuk yang asyik masyuk ketika diajak kawan kita ke acara-acara budaya padahal berbau syirik. Jangan-jangan kita termasuk yang terpesona ketika membaca sebuah buku best seller yang sebenarnya bertentangan dengan hukum Islam. Jangan-jangan kita termasuk yang tetap berada dalam tawa ketika mengakhirkan sholat* demi sebuah acara tak bermakna. Perlahan-lahan pola pikir kita mulai menerima kemaksiatan demi kemaksiatan. Kita mulai duduk bersama dalam canda, bersama orang-orang yang sedang menghina Allah dan RasulNya. Demikiankah kondisi kita?
Di antara yang menjawab "ya", mungkin ada yang merasa punya landasan atas perbuatannya. Sebagian mungkin menggunakan kaidah,"Yang penting niatnya, bro". Sebagian lagi mungkin mengatakan, "Hikmah itu hak seorang muslim, di mana saja ditemukan harus diambil". Dan, mungkin ada pula yang memakai dalih, "Ini fiqih awlawiyat (prioritas) akhi", dsb.
Tidak ada yang salah dengan hal-hal tersebut. Bahkan para ulama juga menggunakannya sebagai alat penimbang dalam memutuskan sesuatu. Tapi, benarkah yang penting hanya niat? Apakah yang kita anggap hikmah memang benar-benar hikmah? Tidakkah yang kita sebut prioritas bertentangan dengan yang Allah prioritaskan? Kaidah, fiqih awlawiyat dan yang semisalnya adalah alat. Masih diperlukan bahan baku untuk menghasilkan produk yang tepat. Bahan baku berupa dalil-dalil dan pemahaman yang benar.
Bagaimana kita mau sensitif terhadap hal-hal syirik jika kita tidak memahami apa itu syirik dan betapa mengerikannya ia. Bagaimana kita mau sensitif terhadap buku-buku yang menghina hukum-hukum Allah kalau kita masih jauh dari bacaan yang membuat kita mengenal hukum-hukumNya. Dan, bagaimanan kita mau sensitif dari menyepelekan ibadah-ibadah utama, kalau kita tidak pernah menggali dan memahami lebih dalam tentang ibadah-ibadah kita.
Medan perang pemikiran itu berat. Perang di dalamnya bergerilya. Menyusuri lembah, mendaki gunung. Menapaki jalan berliku yang melelahkan. Kita memerlukan ransum yang tepat. Ransum yang dibuat dengan alat dan bahan baku yang tepat. Yang dapat membuat hati kita selalu waspada, dan panca indera bekerja dengan seksama. Sehingga kita tidak mati konyol, ditembak lawan yang kita anggap kawan, dari depan.
-------------------------------------------------------
* untuk sholat isya dianjurkan mengakhirkannya hingga menjelang tengah malam (shahih bukhari, fathul-baari). namun jika jamaah (masjid/mushola) dilakukan di awal waktu, para lelaki diutamakan (diwajibkan) mengikuti jamaah dan tidak mengakhirkan waktu isya.
ih dalem deh..
ReplyDeleteJKFS pak..
aku nge-link ya pak..
alhamdulillah...
ReplyDeleteJKK atas pengingatannya...
jangan dalem2... hati2 tenggelem.
ReplyDeletetafadhdholi..
waiyyaki..
ReplyDeletebtw, pada masih pad JK aja nih...
lah, orang si bapak yang nulisnya dalem, gapapa lah tenggelam, dalam taubat
ReplyDelete*lagi solehah*
understood...
ReplyDeleteya, bahkan kaum muslimin selayaknya tidak mati kecuali tenggelam, dalam taubat.