Wednesday, 14 January 2009

Bolehkah Menunjuk Pemimpin Berdasar Keturunan?

Lanjutan tulisan berikutnya... setelah saya membuka-buka buku as-Siyasah Asy-Syar'iyyah-nya Ibnu Taimiyah..

Saya tidak sedang mengkritik ulama di Saudi, tapi saya mencoba membahas sistem pemerintahan yang digunakan Saudi. Dan, rasanya kurang tepat jika yang ingin mendukung Saudi menggunakan alasan pembelaan terhadap "negeri para ulama" sedangkan "negeri para nabi", yaitu Palestina dibahas secara blak-blakan keburukannya (saya sangat setuju dg "no body is perfect")

Berikut ini beberapa kutipan yang saya ambil dari buku tersebut di awal, agar menjadi jelas bahwa kata2 "di Saudi tidak ada kemaksiatan yang nyata" itu kurang tepat. No body is perfect.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Siapapun yang membebankan suatu tugas kepada seseorang (dalam sebuah amal) untuk sekelompok manusia, sementara dia mendapatkan dalam kelompok tadi yang lebih baik dari orang yang dipilihnya itu, maka dia telah berkhianat kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada kaum Muslimin" (Hr. Al-Hakim dalam shahihnya)

Sebagian ulama meriwayatkan, bahwa  hadis tersebut di atas adalah ucapan Umar radhiallahu anhu kepada putranya Abdullah bin Umar.

Sementara itu, Umar bin Khaththab sendiri mengatakan, "Siapa saja yang mengangkat seseorang untuk perkara kaum Muslimin, tatkala dia angkat orang tadi karena cinta dan unsur kekerabatan, dia telah berkhianat kepad Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslimin."

Pengangkatan pejabat untuk mengurusi perkara kaum Muslimin ini mutlak harus dilaksanakan. Oleh karena itu perlu dilakukan pilihan yang amat selektif bagi orang-orang yang pantas (al-mustahiqqin) untuk memangku jabatan tersebut...

(hlm. 4)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Apabila mengalihkan suatu jabatan dari seseorang yang sebenarnya lebih layak dan tepat untuk mendudukinya kepada orang lain karena faktor ikatan kekeluargaan, loyalitas atau persahabatan, atau kesamaan asal daerah (balad), mazhab, satu aliran, atau satu suku bangsa seperti Persia, Turki dan Romawi, atau karena adanya uang sogokan (suap), ataupun kepentingan-kepentingan tertentu, atau sebab-sebab yang lain, merasa iri terhadap orang yang lebih berhak dan layak menduduki posisi tersebut. Semuanya merupakan bentuk pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Mukminin. Hal ini tergolong larangan sebagaimana tercantum dalam firman Allah, "Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian berkhianat kepada Allah, Rasul dan berkhianat pada amanat-amanat yang diberikan kepada kalian, padahal kalian mengetahui. Dan ingatlah bahwa harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu dapat menjadi fitnah bagi kalian. Dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar." (QS.al-Anfal:27-28)

(hlm. 6-7)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin.... Apakah ini bukan suatu kemaksiatan yang jelas?

Jelas sudah bagi kita bagaimana pemerintahan itu ditunjuk di zaman khulafaur-rasyidin. Abu Bakr menunjuk Umar karena kapasitasnya, dan Umar menunjuk orang-orang untuk memusyawarahkan siapa pemimpin setelah beliau. Tidak ada dalam risalah yang sempurna ini penunjukan seorang pemimpin berdasarkan keturunan. Dan penunjukan yang demikian itu (berdasarkan keturunan) telah dijelaskan keburukannya oleh Ibnu Taimiyah yang secara tersirat disetujui oleh kutipan yang saya ambil dari Imam asy-Syathibi dan Ibnul Qayyim di tulisan sebelum ini.

Saya tidak berpendapat sistem kerajaan itu secara mutlak haram, karena itu saya mengubah judul tulisan kali ini agar lebih jelas poin yg ingin saya bahas.

Jika memang sang anak memiliki kapasitas yang sesuai, maka penunjukan itu tidak mengapa. Dan Allah telah menganugrahkan kapasitas ini kepada Nabi Daud dan Nabi Sulayman. Tapi bukankah telah jelas bagi kita, bahwa sistem kerajaan yang berlaku di negara-negara Islam sekarang menunjuk rajanya melalui keturunan dan bukan kapasitas? Yang mana penunjukan seperti itu merupakan pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslimin.


20 comments:

  1. Nah, jika berbicara tentang hal ini tentu berbeda kasusnya. Sehingga "bid'ah" di postingan sebelumnya tidak berlaku bukan?

    Eniwei, tentang Palestina, bukan negaranya yang dikritik. Namun sebagian "pejuangnya" (melihat dari latar belakang pemikiran, manhaj, dan asal muasalnya) yang menjadikan mereka dikritik. Jadi harap dibedakan mengkritik "pejuangnya" dan mengkritik negaranya.

    ReplyDelete
  2. klo bgitu tolong dibedakan juga dong, antara mengkritik ulamanya dan mengkritik sistem pemerintahannya...

    ReplyDelete
  3. kalo itu iya mas, saya tidak mengingkari hal ini bukan? sebagaimana saya isyaratkan dalam tanggapan saya di tulisan mas sebeumnya? :)

    *) adapun pengingkaran saya di artikel sebelumnya terkait "pembid'ahan" sistem kerajaan, karena merupakan hukum terhadap suatu masalah.

    ReplyDelete
  4. ok....
    lunas yah.. :) (apa coba?! ^^;)

    ReplyDelete
  5. syukran atas masukannya,... krn itu judul artikel sebelumnya jg sdh saya ganti.. ;)

    ReplyDelete
  6. belum kalo belum ngirim oleh-oleh dari Malaysia :p

    ReplyDelete
  7. barakallaahu fiik...

    semoga Allah memberikan petunjuk dan kebaikan kepada kita semua.. uhibbuka lillaah..

    ReplyDelete
  8. wa fiika barokallahu...
    ahabbakalladzi ahbabtani lahu

    ReplyDelete
  9. jazaakalloohu khoyron.

    saya suka cara pemikiran dan penyampaian akh robin. benar-benar ilmiyah namun tdk 'kaku' (tdk berkesan 'ngotot' dan 'pokoknya' tanpa melihat realita).

    baarokalloohu fiik.

    ReplyDelete
  10. waiyyaki, mbak..

    alhamdulillah, segala puji dikembalikan kepada Allah

    wa fiiki barakallahu..

    ReplyDelete
  11. jadi ingat hadits yang mengatakan "Apabila amanah sudah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancuran" yang dimaksud menyia-nyiakan amanah adalah memberi amanah kepada yang tidak mampu melaksanakannya. (mohon dikoreksi jika salah)

    Jika seorang pangeran sudah hidup nyaman dan bermewah-mewah sejak kecil, tentu sulit mengharapkan dia menjadi seorang pemimpin yang baik. itu teorinya Bang Jay d'Teroris

    ReplyDelete
  12. sulit, tp tdk mustahil... Umar bin Abdul Aziz juga sempat borjuis di masa mudanya...

    kita berharap kepada Allah, bukan kepada si pangeran tuk mengubah dirinya :)

    ReplyDelete
  13. sistem demokrasi jauh lebih buruk dari sistem kerajaan, tapi kenapa pula masih banyak aktivis islam yang mau berkubang di lembah demokrasi yang nista

    ReplyDelete
  14. baik demokrasi atau kerajaan punya resiko terpilihnya pemimpin yang tidak mampu memimpin dan tidak berkualitas. Pemimpin yang terpilih dgn suara terbanyak bisa jadi dipilih oleh rakyat miskin yang tidak terdidik dan terpelajar. sehingga mereka tidak mengenal dgn baik si pemimpin atau bahkan korban money politic, sedangkan kerajaan pemimpin dipilih berdasarkan keturunan. Jika di anak seorang raja, maka dia bisa terpilih jadi pemimpin meskipun tidak mampu memimpin atau bahkan zalim.

    Seharusnya pemimpin dipilih oleh orang-orang yang berilmu, berintegritas tinggi dan adil, yaitu para ulama sejati, bukan ulama su' alias ulama pecinta dunia

    ReplyDelete
  15. klo mau cari yg nista-nista memang banyak...
    wallahulmusta'an

    ReplyDelete
  16. idealnya memang demikian. wallahu a'lam

    ReplyDelete