Saturday, 17 January 2009

Islam Dan Kearifan Budaya Lokal

Rating:★★★★
Category:Other
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu, kapanpun dan di manapun, pada dasarnya kehidupan manusia tidak pernah lepas dan dilepaskan dari tiga aspek, yaitu hubungan dengan Allah, sesama manusia dan lingkungannya. Diturunkannya Islam sebagai syariah yang kaffah juga tidak lepas dari ketiga aspek tersebut, sekaligus untuk menyelesaikan dan mengatur ketiganya agar sesuai dengan fitrah kemanusiaannya, memuaskan akalnya, serta menenteramkan jiwanya.

Sebelum syariah Islam tersebut diturunkan, sejak dulu manusia selalu berusaha dengan akal budinya untuk menyelesaikan dan mengatur ketiga aspek tersebut. Munculnya orang bijak (ahl al-hikmah), termasuk para filosof, pada dasarnya untuk menjawab ketiga persoalan tersebut. Dari merekalah lahir berbagai pranata yang diterima, dipakai dan diterapkan di tengah-tengah masyarakat sehingga pada akhirnya menjadi tradisi (al-'urf) dan adat (al-'adah). Ketika tradisi tersebut diterima oleh banyak pihak, maka statusnya akan berubah menjadi konvensi.

Sebelum Islam datang, di tengah-tengah masyarakat telah berkembang sejumlah konvensi, seperti hak kekebalan diplomatik (hak imunitas) bagi para duta, larangan berperang pada bulan Haram dan sebagainya yang kemudian diakui oleh Islam. Begitu juga ada sejumlah adat yang telah berkembang pada zaman pra Islam (Jahiliah) seperti diyat, nikah, pertemuan pada hari Arubah (Jumat) untuk penyampaian pesan dan peringatan, dan sebagainya, yang pada akhirnya diperbarui oleh Islam.

PEMBAHASAN

1. Makna kaedah ÇóáúÚóÇà óÇÊõ ãõà óßøóãóÉñ "Adat-istiadat itu bisa dikukuhkan sebagai hukum""Adat-istiadat itu bisa dikukuhkan sebagai hukum"
ÇóáúÚóÇà óÇÊõ ãõà óßøóãóÉñ "Adat-istiadat itu bisa dikukuhkan sebagai hukum""Adat-istiadat itu bisa dikukuhkan sebagai hukum"

Qodhi berkata bahwa dasar kaedah ini adalah hadits yang berbunyi, "Ma Ro'ahul Muslimuna Hasanan Fahuwa ‘Indallahi hasanun". Al Alai berkata bahwa pada hadits ini dia tidak menemui jalan yang sampai kepada Rosulullah, baik dalam kitab hadits yang shohih hingga dalam sanad-sanad yang dho'ifpun juga tidak ditemukan. Tetapi setelah ia melakukan penelitian yang panjang dan bertanya-tanya, ternyata apa yang dikatakan hadits tersebut merupakan perkataan Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan Ahmad dalam kitabnya Al Musnad.

Kaidah "al'adatu muhakkamah" ini digunakan sebagai argumentasi, bahwa adat yang berkembang di tengah tengah masyarakat juga bisa dipertahankan, dan tidak perlu dihapus. Padahal tidak sedikit tradisi dan adat yang buruk, yang jelas bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu tidak semua adap diterima oleh Islam.

Sebenarnya tradisi dan adat bukanlah hukum itu sendiri, tetapi merupakan sesuatu yang harus dihukumi, dan karenanya kemudian bisa dipertahankan atau ditinggalkan. Semuanya bergantung pada ukuran, apakah tradisi dan adat tersebut menyimpang atau tidak dari syariah. Jika menyimpang dari ketentuan syariah, tradisi/adat harus ditinggalkan. Dengan demikian, syariah Islamlah yang tetap menjadi tolok ukur dalam menentukan, apakah tradisi dan adat tersebut bisa dipertahankan atau tidak. Jika demikan, kaidah al-'adat muhakkamah (adat-istiadat itu bisa dikukuhkan sebagai hukum) dengan sendirinya terbantahkan. Dari sinilah maka as-Syathibi mengklasifikasikan tradisi dan adat tersebut menjadi dua:

Pertama, tradisi dan adat yang syar‘i (al-'awâ'id as-syar‘iyyah), yaitu tradisi dan adat yang dikukuhkan atau dinegasikan oleh dalil syariah. Artinya, syariah memerintahkannya, yaitu diwajibkan atau disunnahkan; atau melarangnya, yaitu diharamkan atau dimakruhkan; atau diizinkan, baik untuk dikerjakan maupun ditinggalkan. Contohnya, kebisaaan bersuci dari hadas dan najis, menutup aurat, menjaga kehormatan wanita, termasuk anak, istri dan orangtua, larangan pornografi dan pornoaksi, dan sebagainya. Menurutnya, hukum-hukum seperti ini tidak berubah sekalipun pandangan orang terhadapnya berubah. Beliau menegaskan, "Seandainya hal seperti ini (perubahan baik buruk mengikuti penilaian orang) dibenarkan, pasti akan terjadi penghapusan hukum-hukum yang sudah baku dan tetap. Padahal penghapusan pasca wafatnya Nabi saw. hukumnya batil. Karena itu, penghapusan tradisi dan adat yang syar‘i statusnya juga batil."
, tradisi dan adat yang syar‘i (al-'awâ'id as-syar‘iyyah), yaitu tradisi dan adat yang dikukuhkan atau dinegasikan oleh dalil syariah. Artinya, syariah memerintahkannya, yaitu diwajibkan atau disunnahkan; atau melarangnya, yaitu diharamkan atau dimakruhkan; atau diizinkan, baik untuk dikerjakan maupun ditinggalkan. Contohnya, kebisaaan bersuci dari hadas dan najis, menutup aurat, menjaga kehormatan wanita, termasuk anak, istri dan orangtua, larangan pornografi dan pornoaksi, dan sebagainya. Menurutnya, hukum-hukum seperti ini tidak berubah sekalipun pandangan orang terhadapnya berubah. Beliau menegaskan, "Seandainya hal seperti ini (perubahan baik buruk mengikuti penilaian orang) dibenarkan, pasti akan terjadi penghapusan hukum-hukum yang sudah baku dan tetap. Padahal penghapusan pasca wafatnya Nabi saw. hukumnya batil. Karena itu, penghapusan tradisi dan adat yang syar‘i statusnya juga batil."

Kedua, tradisi dan adat yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, yang tidak dinegasikan atau dikukuhkan oleh dalil syariah. Tradisi seperti ini ada dua, yaitu yang bersifat tetap dan berubah-ubah:
, tradisi dan adat yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, yang tidak dinegasikan atau dikukuhkan oleh dalil syariah. Tradisi seperti ini ada dua, yaitu yang bersifat tetap dan berubah-ubah:

a. Yang bersifat tetap, misalnya, seperti kebisaaan orang untuk makan, minum, bicara, jalan, duduk, tidur, istirahat dan sebagainya. Tradisi seperti ini, menurutnya, jika merupakan sebab bagi akibat yang telah ditetapkan status hukumnya oleh Pembuat syariah, maka bisa diterima.

b. Yang berubah dan berbeda. Kondisi tersebut ada yang dipengaruhi oleh adat atau tradisi setempat, misalnya persepsi terhadap pria yang membuka tutup kepala; bagi bangsa Timur (Arab) dianggap bisa mengurangi muru'ah (kehormatan), tetapi tidak bagi bangsa Barat (Andalusia). Kondisi itu juga bisa juga dipengaruhi oleh faktor ungkapan dan maksudnya, seperti kebisaaan ahli ushul fikih menggunakan kata iqtidha' dan wadh'i yang mempunyai makna khas, sebagaimana ahli nahwu menggunakan kata fi‘l, fa‘il, maf‘ûl, dan sebagainya. Kondisi di atas juga bisa dipengaruhi oleh faktor eksternal, di luar diri manusia, seperti status akil baligh seseorang; umumnya ditentukan berdasarkan ihtilam (mimpi basah), menstruasi, atau usia 15 tahun.

Dalam konteks yang berubah dan berbeda ini, as-Syathibi kemudian menegaskan sekali lagi, jika adat atau tradisi tersebut berbeda, atau berbenturan, baik sesama adat atau dengan syariah, maka semua adat atau tradisi tersebut harus dikembalikan pada pondasi syariah, dan dengannya adat atau tradisi tersebut diputuskan. Jadi, intinya, hukum syariahlah yang tetap menjadi tolak ukur.

2. Pengertian Adat

Jumhur ulama' menyamakan pengertian adat dan urf. Mereka mendefinisikan urf sebagai apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik berupa perkataan, perbuatan, atau meninggalkan sesuatu dan itu juga dinamakan adat. Atau bisa juga didefinisikan bahwa adat adalah segala apa yang telah dikenal manusia, maka hal ityu jadi suatu kebisaaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Sehingga menurut jumhur tidak ada perbedaan antara adat dan urf.

Prof. Dr. Abd al-Karim Zaidan menjelaskan bahwa ‘urf (tradisi) adalah sesuatu yang telah menjadi kebisaaan masyarakat dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan dan muamalah mereka. Kebanyakan fukaha menyebutnya dengan âdat (adat). Karena itu, masih menurut Abd al-Karim Zaidan, tradisi dan adat itu sama.

Tetapi ada beberapa ulama' yang membedakannya. Al Jurjani misalnya yang mendefinisikan adat sebagai suatu perbuatan yang terus menerus diakukan manusia karena dipandang logis. Sedangkan Urf adalah suatu perbuatan yang jiwa merasa tenang meakukannya, karena sejalan dengan aka sehat dan diterima oleh tabiat sejahtera.

3. Syarat Diterimanya Adat

Memang sebagian fukaha dan ahli ushul telah memasukkan diktum adat dan tradisi sebagai salah satu dalil, meski dengan sejumlah syarat, yaitu:

a. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat. Syarat ini menunjukkan bahwa adat adat tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan manusia.

b. Perbuatan, perkataan yang diakukan selau terulang-ulang, dengan kata lain sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.

c. Tidak bertentangan dengan ketentuan nas, baik al Qur'an maupun as Sunnah.

d. Tidak mendatangkan kemudhorotan serta sejalan dengan kesejahteraan.

Dalam kitab Dhawabith al-Mashlahah, Dr. Said Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa Mazhab Maliki, khususnya Imam Malik mensyaratkan bahwa tradisi dan adat yang bisa diakui (mu‘tabarah), dan karenanya dikukuhkan sebagai hukum adalah:

a. Tradisi dan adat penduduk Madinah; tentu tradisi dan adat yang berkembang pada zaman Imam Malik

b. Tradisi dan adat tersebut tidak bertentangan dengan hukum syariah

Karenanya, as-Syatibi (w. 790 H), ahli ushul pengikut mazhab Maliki, menegaskan, bahwa Allah juga berhak menentukan secara menyeluruh (an-nadzr al-kulli) terhadap tradisi dan adat tersebut sehingga tidak boleh ada yang mengharamkan berbagai kebaikan (thayyibat) yang telah dihalalkan oleh Allah, dan tentu juga sebaliknya. Beliau memberikan alasan, bahwa selain Allah (manusia), hanya berhak menjaga dan melestarikannya saja berdasarkan ketentuan syariah. Manusia tidak mempunyai pilihan karena itu merupakan hak Allah yang kemudian diberikan kepada yang lain (manusia).

4. Kaedah-Kaedah yang Berkaitan dengan ÇóáúÚóÇà óÇÊõ ãõà óßøóãóÉñ

1) Isti'malun nasi hujjatun jajibu ‘amalu biha (Apa yang bisaa diperbuat orang banyak, merupakan hujjah yang wajib diamalkan). Sebagai contoh, kebisaaan yang berlaku dalam masyarakat dalam hal jual belibenda-benda yang berat ialah bahwa transport benda-benda tersebut sampai ke rumah pembeli ditanggung oeh penjual. Oleh karena itu, bagi setiap orang yang akan mengadakan akad jual beli harus diatur seperti kebisaaan di atas.

2) At ta'yinu bil ‘urfi katta'yini bin nash (Menentukan dengan dasar ‘Urf, seperti menentukan dengan dasar nas). Sebagai contoh, Di Jawa Tengah pada umumnya upah seorang yang ikut menanamkan padi adalah seper enam dari hasil tanamannya itu kelak kalau padi telah dipetik. Oleh karena itu ketentuan tersebut harus ditaati sebagaimana nas.

3) La yunkiru taghoyyurul ahkam bi taghoyyuril azman wal amkinah wal ahwal (Tidak bisa diingkari adanya perubahan hukum lantaran berubahnya zama, lokasi dan keadaan). Qoidah ini tidak berlaku dalam lapangan ibadah. Sebagai contoh, Umar bin Khotob tidak menerapkan hukuman potong tangan bagi pencuri pada musim paceklik.

4) Al ma'rufu bainat tujjari kal masyruti bainahum (Sesuatu yang telah terkenal di kaangan pedagang, seperti syarat yang berlaku bagi mereka). Sebagai contoh, apabila seorang wakil yang disuruh untuk menjual barang orang yang mewakilinya, baik dengan kontan atau kredit dengan batas waktu yang telah terkenal dikalangan para pedagang. Maka si waki tidak boleh menjualnya dengan ditunda pembayarannya melebihi pada waktu yang telah terkena diantara mereka atau dengan kata lain si wakil tidak boleh menjual barang tersebut menyimpang dari adat yang telah berlaku.

5) Al ma'rufu ‘urfan ka masyruti syarton (Sesuatu yang terkenal menurut urf, seperti suatu yang disyaratkan dengan suatu syarat). Sebagai contoh, barang siapa yang menggunakan barang orang lain tanpa suatu akad, apabila pada pemakaian barang itu telah menjadi kebisaaan bahwa pemakai diwajibkan membayar uang yang sebanding dengan pemakaian barang itu, maka sekalipun tidak mensyaratkan uang pembayaran, pemakai wajib membayar uang sewa barang itu, karena apa yang sudah terkenal dalam masyarakat bahwa pemakaian barang tersebut harus memberikan uang sewa.



PENUTUP

Tidak bisa kita pungkiri bahwa masyarakat di dunia ini bersifat majemuk, baik dalam segi agama, budaya, adat istiadat ataupun yang lainnya. Budaya dan Adat istiadat yang merupakan bagian dari masyarakat akan cenderung dipertahankan oleh mereka karena memang mereka menganggapnya sewbagai sesuatu yang baik. Oleh karena itu sebisa mungkin norma-norma hukum yang akan diberlakukan di masyarakat, baik itu hukum yang dibuat oleh pemerintah (hukum positif) maupun hukum agama hendaklah mempertimbangkan aspek tersebut dalam perumusan maupun pemberlakuannya. Dan dalam kenyataannya memang demikian, terlihat diakuinya hukum adat dalam hukum positif Indonesia bahkan dalam hukum internasionalpun terlihat hukum adat diakui sebagai salah satu sumber hukum yang biasanya disebut hukum kebisaaan Internasional yang itu merupakan cerminan dari adat yang berlaku di masyarakat internasional.

Hukum Islam yang merupakan salah satu bagian dari norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat khususnya umat Islam juga mengakui eksistensi hukum adat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat untuk diadopsi sebagai hukum Islam. Tetapi Islam tidak serta merta mengadopsi semua hukum adat menjadi hukum Islam, melainkan Islam cukup selektif dalam hal ini, yaitu hukum adat yang diadopsi adalah hukum adat yang tidak bertentangan dengan hukum syari'at.

DAFTAR BACAAN

Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyah, Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi, Beirut, cet. II, 1997.

Bukhori, Shohih al-Bukhari.

Al Asqalani, Fath al-Bari, cet. VIII.

as-Syathibi, Abi Ishaq, Ibrahim bin Musa al-Khaimi al-Gharnathi al-Maliki, Al-Muwafaqat fî Ushul as-Syari‘ah, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, cet. II.

Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal'ah Jie, Dirasah Tahliliyyah li Syakhshiyyah ar-Rasul, Dar an-Nafais, Beirut, cet. II, 1996.

Jalaluddin ‘Abdurrohman, Al Ashbah wa an Nadzo'ir, Al Hidayah, Surabaya, cet. I, 1965.

Asmuni A Rahman, Qoidah-Qoidah Fiqhiyyah, Bulan Bintang, Jakarta, 1976.

Abd al-Karim Zaidan, Al-Madkhal ila as-Syari‘ah al-Islamiyyah, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. XIV, 1996.

Muchlis Usman, Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Rajawali Pers, Jakarta, 2002.

Shoih bin Ghonim as Sadlan, Al Qowa'id al Fiqhiyyah al Kubro, Dar Balansiyah, Riyadh, 1417 H.

No comments:

Post a Comment