Saya agak heran ketika membaca sebuah artikel yang menceritakan kondisi di Arab Saudi yang menyatakan bahwa di Arab Saudi tidak ada syirik, bid'ah, maksiat yang diamalkan secara terang-terangan...
Saya jadi bertanya, memang sistem kerajaan yang dianut Saudi itu bukan pertentangan dg islam yang terang-terangan?
Tentang demokrasi, saya rasa banyak di antara kita yang telah mengetahui bahwa hal tersebut bertentangan dengan islam. Karena dalam islam, suara orang yang shalih tidak sama dengan suara seorang ahli maksiat, sebagaimana tidak samanya suara orang yang berilmu dengan orang yang jahil.
Lalu bagaimana dengan sistem kerajaan sendiri? Saya sendiri masih berusaha mencari dalil-dalilnya. Mungkin setelah pulang ke rumah, saya akan mencoba membuka as-Siyasah asy-Syar'iyyah-nya Ibnu Taimiyyah, mudah-mudahan ada keterangan di dalamnya.
Untuk sementara, berdasarkan yang saya baca-baca di internet dan pemahaman saya, sistem kerajaan itu bertentangan dengan Islam.
1. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan khulafaur-rasyidin tidak memerintah dengan sistem kerajaan. Maka siapakah yang lebih benar petunjuknya daripada mereka?
2. Sebagaimana demokrasi bertentangan karena menyamakan antara orang berilmu dan orang jahil, maka kerajaan yang tidak menjadikan orang paling berilmu dan paling amanah menjadi raja di antara mereka juga bertentangan dengan islam. Bukankah mereka menunjuk Raja berdasarkan keturunan? Bukan berdasarkan ilmu dan amanah?
3. Imam Syathibi dalam Al-I`tisham mengatakan:"Para ulama telah menukil adanya kesepakatan bahwa imamatul kubra (kepemimpinan umum) tidak boleh dipegang kecuali oleh orang-orang yang memiliki kemampuan berijtihad dan mampu memberi fatwa dalam masalah ilmu-ilmu syariat". Adakah Raja Saudi sekarang (misal) mampu memberikan fatwa dalam masalah2 syariat?
4. Saya melihat, yang mengatakan kerajaan tidak bertentangan dengan Islam menggunakan dalil, "Khilafah (Khilafah di atas konsep kenabian) itu tiga puluh tahun, kemudian Allah memberikan kerajaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih).
Adakah kejelasan dari hadits tersebut bahwa sistem kerajaan merupakan bagian dari ajaran Islam. Bukankah itu hanya sekedar berita? Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberitakan bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Apakah perpecahan ini disyariatkan (dianjurkan)? Tentu tidak.
5. Sebagian lagi mengatakan bahwa dalilnya adalah dijaminnya Muawiyyah bin Abu Shofyan sebagai ahli surga, sedangkan dia adalah seorang penganut sistem kerajaan. Memang benar Muawiyah itu dijamin surga dan disebut faqih dalam riwayat yang shahih. Namun ia bukan orang yang ma'shum. Manakah yang lebih baik antara Muawiyah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam plus Khulafaur-rasyidin? Kita tentu sudah tahu jawabannya.
6. Ibnul Qoyyim menjelaskan rahasia perpindahan khilafah dari Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam kepada Abu Bakar, Umar dan Ustman, adalah bahwa seandainya yang menjadi khalifah setelah meninggalnya Rasulullah adalah Ali, niscaya mudah bagi orang-orang yang ingin merusak untuk mengatakan,"Sesungguhnya dia (Muhammad) adalah raja dan mewariskan kerajaan kepada keluarganya"
Sekian dulu, insya Allah akan saya lanjutkan setelah mendapatkan keterangan lagi dari buku Ibnu Taimiyyah, as-Siyasah asy-Syar'iyyah
di Majmu' Fatawa jilid 6 kalo nggak salah ada akh. Selain itu dalam Islam ada 3 sistem pemerintahan yang disepakati 'ulama :
ReplyDelete1. ditunjuk oleh penguasa sebelumnya (dianjurkan)
2. menurut kesepakatan ahlul 'ilmu (dianjurkan)
3. diperoleh dengan pemberontakan (tidak dianjurkan)
Nah, Saudi mengambil prinsip yang pertama. Masalah kapasitas 'ilmu dan lain sebagainya bukanlah hal yang menyebabkan ketidaksahan.
Sekadar masukan buat anta, ahsan tidak menyimpulkan sesuatu atau melepaskan opini sebelum mendapatkan kepastian tentang hal ini.
kemudian yang tak kalah pentingnya adalah mempelajari kaidah bid'ah, mana yang bid'ah dan mana yang bukan. Sehingga tidak tertukar dalam melakukan penilaian.
pertanyaan orang awam : kenapa yang ditunjuk sebagai penerusnya adalah keturunannya ?
ReplyDeleteSetuju dengan pertanyaan di atas. Proses perpindahan kekuasaan dengan cara ditunjuk oleh penguasa sebelumnya adalah proses yang memang dianjurkan. Tapi kalau yang ditunjuk adalah HARUS keturunannya sendiri, itulah yang aneh.
ReplyDeleteTambahan, kemerdekaan Saudi itu tidak akan pernah bisa dilepaskan dari kekalahan kekhalifahan Turki. Dan harus kita ketahui bahwa dulu bani Saud malah berperang melawan kekhalifahan Turki. Satu hal yang aneh adalah, di saat sistem kekhalifahan tengah berdiri, hal-hal yang mendorong kehancuran sistem tersebut malah disanjung-sanjung, sementara di saat sistem demokrasi berdiri, usaha-usaha untuk merubah sistem tsb malah dilarang. Aneh, tapi nyata. Kalau da'wah itu tidak boleh bersatu dengan politik, maka kerja sama antara ulama dan umara bani Saud dahulu adalah satu hal yang harus dibid'ahkan terlebih dahulu.
ReplyDeleteSemoga kita tidak termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang tidak bisa menggunakan timbangan yang adil dalam menilai diri sendiri dan juga dalam menilai orang lain.
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. " (QS. Al-Muthaffifin, surat 83, ayat 1-3)
makin hangat perbahasan....tak kunjung redha...
ReplyDeleteTerimakasih atas masukan-masukannya... :)
ReplyDeletecukup bagus dan menyentil...
ReplyDeleteketika meraka jauh merayap menegakkan anti bid'ah...
tapi di keluarganya sendiri ada hal yang lebih bahaya dari bid'ah..
kebohongan...
mau tanya, seandainya kelompok muslim mempunyai kekuatan kemudian melakukan pembangkangan / pemberontakan, atau katakanlah dalam bahasa modern coup de etate, lalu mengambil alih pemerintahan dan akhirnya berjalan terus dan stabil ... berarti dibolehkan ? (kalo merujuk isi majmu fatwa yang anta kutip itu .... meskipun tak dianjurkan ...)
ReplyDelete*menyimak dan menunggu kelanjutannya*
ReplyDeletehehe..ati-ati lho...
ReplyDeleteDitunggu..perdebatan selanjutnya(truly,i saw many deviances in saudi govt..) :-D
ReplyDeleteBelum ada to b continuednya ya?(bcz i see many deviances 2 inside saudi)
ReplyDeleteMas Muqorrobin. Diskusi menarik nich :)
ReplyDeleteSebelumnya perlu dikaji lebih mendalam sebelum membuat pendapat final.
1. Nabi Daud dan Nabi Sulaiman adalah raja. Nabi Daud mewariskan kerajaannya kpd Nabi Sulaiman.
2. Jika kerajaan itu haram, tentu ada jejak perkataan Rasulullah saw ttg kerajaan. Padahal model kerajaan itu sdh lama berlangsung. AFAIK, Rasulullah saw tdk mengharamkan kerajaan, juga tdk menyatakan satu model pemerintahan lain yg sah dalam Islam. Kepada para raja, Rasulullah saw mengajak ke Islam dan tdk menyuruhnya turun tahta.
3. Adakah ulama yg mengharamkan proses penunjukan khilafah dari keturunan pada masa itu? Bahkan Umar bin Abdul 'Azis adalah bagian dari proses itu. Apakah beliau mengingkari sunnah Rasulullah saw?
4. Sebenarnya, yg dikehendaki Islam itu model pemerintahan atau kepemimpinan? IMHO, tdk masalah pemimpin itu ditunjuk atau dipilih rakyat. Yang menjadi sunnah Rasulullah saw adalah kepemimpinan yg adil tidak dzalim, bukan masalah model pemerintahannya. Model pemerintahan itu tergantung kondisi masyarakat, dan bisa berubah. Jika ada presiden yg menaungi seluruh ummat Islam, maka ia khilafah. Jika ada raja yg menaungi seluruh ummat Islam, maka ia khilafah.
Allahu a'lam.
hmm...
ReplyDelete*cuma menyimak*
jika benar keadaannya demikian, menurut kesepakatan 'ulama (bukan hanya Ibnu Taimiyyah) iya.
ReplyDeletehal ini yang diamalkan generasi terakhir shahabat semisal Ibnu 'Umar ketika itu.
nah, itu tanya ma yang nunjuk aja :)
ReplyDeletedemikianlah, meski bukan sesuatu yang membatalkan dan terlarang...
ReplyDeletedaerah Saudi tidak pernah berada di bawah kekuasaan kekhalifahan Turki (dibuktikan dengan peta kekuasaan kekhalifahan yang dikumpulkan oleh salah seorang ahli sejarah Turki -saya lupa namanya-), sehingga tidak benar jika dikatakan Saudi memberontak.
ReplyDeleteTidak ada yang mengatakan bahwa politik adalah haram, selama politik yang syar'i, sehingga tidak ada pertentangan keduanya. Yang terlarang adalah demokrasi itu sendiri, karena bukan merupakan prinsip politik Islam. Jadi harap dibedakan dan tidak digeneralisir.
mohon bisa memberi masukan kebohongan apa yang dimaksud? :)
ReplyDelete“Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar“.” (QS.Al-Baqarah : 111)
“Wajib bagi para penuduh untuk mendatangkan bukti…” (HR. Baihaqi)
Benar, secara umum model kepemimpinan bukan menjadi permasalahan. Meski dibutuhkan penjelasan lebih jauh tentang hal ini
ReplyDeleteSaya pribadi sampai saat ini tdk setuju pengharaman dakwah lewat demokrasi, namun juga tdk setuju pengharaman kerajaan.
ReplyDeleteKalau dikatakan haram memasuki demokrasi krn kedaulatan di tangan rakyat, tentunya haram juga ber-kerajaan karena kerajaan itu kedaulatan di tangan raja. Sama saja.
Jadi, dakwah itu dalam prinsip apa saja. Jika pun sistemnya kerajaan, dakwah jalan dalam sistem kerajaan, mengajak raja masuk Islam dan tdk perlu meruntuhkan kerajaannya. Intinya bagaimana agar raja memerintah secara adil sesuai dg Islam, krn di situ letak kekuasaan.
Sedangkan di demokrasi, gunakan suara rakyat utk memilih pemimpin yg sesuai Islam shg mendapat kepemimpinan yg adil sesuai Islam. Krn di situ letak kekuatannya. Kita raih kepemimpinan yg sesuai Islam, apakah di demokrasi atau di kerajaan.
Apakah berarti kita mengakui kedaulatan di tangan rakyat, atau kedaulatan di tangan raja? Tidak. Kita mengembalikan agar kepemimpinan itu berjalan sesuai Islam.
no body's perfect.
ReplyDeletesubstansinya sekadar meluruskan pandangan negatif terhadap negeri para 'ulama ini. sebagaimana perkataan 'ulama terdahulu ketika membantah sebagian orang yang mencela shahabat, :"Sesungguhnya mencela shahabat tidak lain adalah menggugurkan pondasi Islam itu sendiri, karena tidak bisa tidak, Islam diamalkan melalui mereka."
Demikian juga yang terjadi sekarang, sebagian orang cenderung mencela negeri yang mulia ini, sehingga lama kelamaan akan menjatuhkan wibawa negara dan 'ulama. Ketika 'ulama tidak lagi dipercaya, maka orang awam lah yang dijadikan pegangan.. Kata Nabi sesat dan menyesatkan.
Karena itu, nilailah secara proporsional..
Islam jelas memberikan mandat kepada Sultan untuk mengatur umat, namun tidak memberikan mandat kepada rakyat..
ReplyDeleteLagipula tidak pernah ada dasarnya Islam memperbolehkan memilih pemimpin lewat suara rakyat. Jadi jelas perbedaan kedudukan keduanya.. Belum lagi lebih dari 70 kerusakan demokrasi.
Akhi, perlu dibedakan antara cara memilih pemimpin dg mandat penguasa.
ReplyDeleteJika telah terpilih seorang presiden, Islam memberikan mandat kepada presiden utk mengatur ummat.
Jika telah terpilih seorang raja, Islam memberikan mandat kpd raja utk mengatur ummat.
Presiden dipilih dg suara rakyat, raja dipilih karena keturunan.
Kalau dikatakan tdk ada dasarnya memilih pemimpin oleh suara rakyat, sama saja tdk ada dasarnya memilih pemimpin berdasar keturunan.
Ketika kita mengatakan harus taat pada raja selama bukan hal maksiat, sama saja dg kita harus taat presiden selama bukan hal maksiat.
tampaknya antum belum menangkap substansi yang saya katakan. ada perbedaan mencolok antara keduanya.
ReplyDeletepertama, seperti yang sudah saya katakan, dalam Islam ada 3 kepemimpinan yang diakui. silahkan lihat ke tulisan yang paling atas. kalopun ternyata yang ditunjuk adalah keturunan atau anak sendiri, maka secara hukum tidak mengapa, meski yang paling afdhal adalah memilih yang memiliki kapasitas 'ilmu. jadi dasarnya adalah sistem penunjukan itu sendiri. Jelas ada contohnya di masa lalu, silahkan baca kitab sejarah karya Imam adz-Dzahabi dan Ibnu Katsir. Download aja di waqfeya.
sementara oleh rakyat? silahkan anta bawakan dalil.. jadi proses pemilihan oleh rakyat inilah yang diharamkan karena memiliki lebih dari 70 jenis kerusakan dan pelanggaran agama -di antaranya merupakan dosa besar-. adapun setelah terpilih, maka itu kembali lagi kepada hukum taat kepada pemimpin. karena kaidah fiqh mengatakan, tidak semua yang haram itu membatalkan.
Akhi, kalau masalah "menunjuk" ini yg jadi dalil, presiden pun menunjuk rakyat utk memilih pemimpin setelahnya dg mengadakan pemilu. Kalaupun rakyat ada yg bodoh ada yang pinter, maka pemimpin yg dipilih itu sah, meski yg afdhal hanya rakyat yg sholih saja yg boleh memilih.
ReplyDeleteUmar bin Khattab ra menunjuk formatur utk menentukan pemimpin berikutnya. Presiden juga bisa menunjuk rakyatnya, semua rakyatnya yg memenuhi syarat utk menentukan pemimpin berikutnya.
:)
Sangat berbeda sekali akhi :
ReplyDelete1. Dalil adalah pegangan dalam amalan. Sementara qiyas baru dapat digunakan ketika tidak didapati nash serta ijma'.
2. Anggaplah kita menggunakan qiyas, maka tetap tidak bisa diterima kedua hal tersebut menjadi qiyas. Kenapa? Raja menunjuk seseorang untuk menjadi penggantinya kelak, sementara pendapat anta presiden menunjuk rakyat untuk memilih pemimpin berikutnya. Bukankah ini beda? Kecuali kalo presiden kemudian menunjuk penggantinya maka ini bisa sama. Sesuatu yang berbeda substansinya tidak dapat diqiyaskan. Bagaimana dua hal yang berbeda ini dipaksakan untuk diqiyaskan?
3. Umar bin Khattab menunjuk ahli 'ilmu yang cuman segelintir orangnya, sementara anta mengatakan preseiden bisa menyuruh semua rakyatnya (yang bukan hanya berbeda dalam 'ilmu, namun dalam aqidah). Bukankah ini hal yang berbeda jauh? Juga pemilihan tersebut bukan berdasar suara terbanyak, namun berdasarkan 'ilmu. (baca kisah panjang ini dalam Shahih Bukhari). Sehingga sekali lagi saya melihat antum berusaha membuat qiyas terhadap dua hal yang berbeda substansinya.
4. Adapun ketika telah menjadi pemimpin, maka hal ini berbeda hukumnya, yaitu kita wajib ta'at kepada mereka selama tidak menemukan bukti kekafiran yang nyata. Jadi sekali lagi, harap dibedakan antara proses dan hasilnya. Juga pahami dengan baik kaidah fiqh yang saya sebutkan sebelumnya.
harap tidak memberikan tanggapan sebelum memahami dengan baik.
wallahu a'lam
Akhi, dalam pandangan ana, inti dari siroh khulafaur-rasyidin adalah bahwa pemimpin dapat menentukan tata cara memilih penggantinya. Di bisa menunjuk pengganti, atau menyerahkan kepada rakyatnya. Tujuannya adalah mendapat pemimpin yg tepat. Tepat artinya bisa jadi kuat dapat menyatukan seluruh elemen, atau diterima oleh semua kalangan, berilmu dan mumpuni.
ReplyDeleteAbu Bakar ra menunjuk Umar bin Khattab ra, sebuah keputusan yg tepat krn Umar bin Khattab kuat dan mumpuni. Umar bin Khattab ra menunjuk formatur dari kalangan orang yg dijamin masuk surga yg semuanya layak utk menjadi pemimpin.
Jadi ruh proses pemilihan dalam Islam adalah bagaimana menghasilkan pemimpin yg tepat. Tatacara bisa berubah, yg penting dapat menghasilkan pemimpin yg tepat.
Kerajaan, jika budaya masyarakatnya memang masih mempercayai kepemimpinan kerajaan, itu tdk masalah. Sebab dg model itu, pemimpinnya diterima rakyat, raja dapat menyatukan. Tdk perlu meruntuhkan kerajaan kalau hanya akan mengakibatkan runtuhnya soliditas.
Demikian juga dalam budaya masyarakat yg demokratis, bila memang pemimpin yg bisa diterima itu hasil pilihan rakyat, diterima semua elemen. Penggantian pemimpin dg model ditunjuk pemimpin sebelumnya, akan menjadi masalah besar bagi masyarakat model ini.
Dlm pemahaman saya, mendapatkan pemimpin yg tepat ini sebenarnya keberadaan sunnahnya.
1. Itu pendapat anta pribadi dan bukan pendapat 'ulama
ReplyDelete2. Agama tegak di atas al-Qur'an dan Sunnah serta pemahaman yang shahih, dan bukan pendapat fulan atau fulan yang tidak diketahui. Aduhai, siapakah saya yang berani mengatakan menurut saya... menurut saya... sementara saya masih miskin terhadap 'ilmu agama...
3. Dalam beragama, saya tidak dapat menerima hal di luar nash.
Akhi, di Arab Saudi, jika raja meninggal, otomatis anaknya menjadi pengganti. Raja tdk perlu menunjuk anaknya, krn secara sistem anaknya yg menggatikan, krn itu sudah sistem. Jadi tdk bisa qiyas dg merujuk ke dalil bahwa Abu Bakar ra pernah menunjuk Umar bin Khattab ra. Sunnah mana yg menjadi rujukan? Sunnah mana yg mengharuskan bahwa pengganti pemimpin itu anaknya?
ReplyDeleteafwan nih... mgkn saya g begitu mengikuti perdebatan di sini... soalnya bagi saya sudah ckp jelas di postingan setelah ini.. :)
ReplyDeleteBerarti anta tidak tahu. Raja yang sebelum ini jelas menunjuk anaknya untuk menjadi penggantinya. Hal ini disebutkan dalam wasiatnya. Juga di beberapa sebelumnya, Raja memiliki 3 anak, dan ditunjuklah salah satu anaknya. jadi menunjuk, bukan otomatis...
ReplyDeleteMaaf yg punya blog, memenuhi blog antum hari ini. 'Afwan :) mohon maaf sebesarnya.
ReplyDeletemenuhin sih sbnrnya gpp... toh saya dapat space gratis kok.. :)
ReplyDeleteUmar ra menunjuk formatur dan menentukan pengganti Umar dg berdasar ilmu. Abu Bakar ra menunjuk Umar juga berdasar dg ilmu krn kapasitasnya.
ReplyDeleteKalau menunjuk pengganti bukan krn ilmu tetapi krn keturunan dijustifikasi dg penunjukan Umar oleh Abu Bakar, menunjuk orang banyak (rakyat) utk menentukan pemimpin pun semestinya bisa dijustifikasi dg cara Umar menunjuk formatur. Jika dikatakan salah krn dg suara terbanyak rakyat, bukankah penunjukan raja juga salah krn bukan berdasar ilmu, tetapi keturunan?
Pd pengangkatan Utsman bin 'Affan, Abdurrahman bin 'Auf sebelumnya telah berkeliling mencari opini rakyat utk menentukan apakah Utsman atau Ali bin Abi Thalib yg diangkat, 2 org yg muncul kuat di formatur. Jadi ada mencari mana yg diterima kalangan lebih luas.