------------------------------------------------
Dalil bahwa suara wanita bukan aurat, adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dalil dari Al-Qur`an terdapat dalam dalil-dalil umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu.
Wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS 2: 275; QS 4:29), berhutang piutang (QS 2:282), sewa menyewa (ijarah) (QS 2:233; QS 65:6), memberikan persaksian (QS 2:282), menggadaikan barang (rahn) (QS 2:283), menyampaikan ceramah (QS 16:125; QS 41:33), meminta fatwa (QS 16:43), dan sebagainya. Jika aktivitas-aktivitas ini dibolehkan bagi wanita, artinya suara wanita bukanlah aurat sebab semua aktivitas itu adalah aktivitas yang berupa perkataan-perkataan (tasharrufat qauliyah). Jika suara wanita aurat, tentu syara akan mengharamkan wanita melakukannya (Muhammad Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas, hal. 106).
Adapun dalil As-Sunnah, antara lain bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengizinkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya (Shahih Bukhari, hadits no. 949 & 952; Shahih Muslim, hadits no. 892). Pernah pula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendengar nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah (HR. Tirmidzi, dinilainya sahih. Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, VII/119). Dalil As-Sunnah ini menunjukkan suara wanita bukanlah aurat, sebab jika aurat tentu tidak akan dibiarkan oleh Rasulullah (Abdurrahman Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 69-70).
Namun demikian, syara mengharamkan wanita bersuara manja, merayu, mendesah, dan semisalnya, yang dapat menimbulkan hasrat yang tidak-tidak dari kaum lelaki, misalnya keinginan berbuat zina, berselingkuh, berbuat serong, dan sebagainya. Firman Allah (artinya) : maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS Al-Ahzab [33] : 32)
sumber : konsultasi islam @wordpress
La terus dari mana asalnya yang mengatakan suara wanita aurat? Selama ini banyak yang mengatakan wanita menyanyi haram kerana suaranya aurat. Hmmmmm... Mencari penjelasan lain mode on ~_^
ReplyDeletesuara wanita dibilang aurat bila menimbulkan syahwat bagi lawan jenis yang mendengarnya, ini yang ana ketahui..afwan
ReplyDeletemenurut ana bukan suaranya yang haram/aurat, tapi bagaimana dia bersuara, itu yang perlu ditinjau hukumnya. afwan...
ReplyDeleteRasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda :
ReplyDelete“Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan
menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36).
Suara merupakan bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang disampaikan Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (1/ 431, 434)
silahkan menuju lokasi sumber artikel
Suara mendesah, merayu dstnya itu bukan hanya milik wanita, tapi juga milik laki-laki. Itu haram dilakukan bila bisa menyebabkan pendekatan kepada zina. (17:32)
ReplyDeletesudah disampaikan oleh mas isnanto di bawah ttg suara wanita sebagai aurat. di antara yg berfatwa demikian adalah al-Lajnah.. (MUInya Arab saudi).
ReplyDeleteintinya, ada perbedaan pendapat di sini. wallahu a'lam
Afwan, fatwa bukanlah dalil menetapkan halal haram, kecuali Al-Quran dan Al-Hadis
ReplyDeleteKetemu satu nie hadistnya. Terimakasih banyak Kang Isnan.
ReplyDeletesilahkan di klik link berikut
ReplyDeletehttp://muqorrobin.multiply.com/journal/item/176/Wanita_adalah_aurat
di situ ada penjelasan perihal hadits yang antum sebutkan.
Aurat bagi wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Dalil ini sudah jelas.
ReplyDeletesudah disampaikan oleh mas isnanto ttg suara wanita sebagai aurat. di antara yg berfatwa demikian adalah al-Lajnah.. (MUInya Arab saudi).
ReplyDeleteintinya, ada perbedaan pendapat di sini. wallahu a'lam
Iya juga ya? Berarti laki-laki yang mendesah, merayu aurat juga dunk. Hikz...
ReplyDeleteada perbedaan ttg hal ini. sebagian berpendapat bahwa seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat, sehingga ada sebagian wanita yg menutup wajahnya.
ReplyDeletesilahkan dicek pendapat2 ulama ttgnya :)
fatwa dapat menjadi dalil halal haram, selama menggunakan metode yang jelas dalam pengambilannya berdasarkan alQuran dan Hadis.
ReplyDeleteSumber hukum islam selain AlQuran dan Hadis ada Ijma', Qiyas, dll. Jangan kita meremehkan fatwa, ijtihad atau qiyas para ulama. Apalagi jika pendapat tersebut disetujui oleh para ulama dari zaman ke zaman. Ulama adalah orang yang sangat faham bahasa arab, alQuran, hadis, kaidah fikih, ushul fikih, istimbath hukum, dll. Bagi para penuntut ilmu yang masih cetek ilmunya, sangat memerlukan mereka krn alQuran dan Hadis, sumber utama islam, tdk bisa dipahami hanya dari terjemahan.
poin pembahasan suara laki2 dan perempuan itu berbeda. bagi perempuan ada dalil khususnya, tapi bagi laki2, yg digunakan adalah dalil umum larangan mendekati zina.
ReplyDeletejadi...perempuan nyanyi didepan umum tu boleh y?? dg syarat tertentu pastinya! hmmm.... poin ini bisa dipake u/ nge-dukung proses emansipasi wanita neh..(nyambung g seh??)hehe...
ReplyDeletepembahasan syaratnya bisa panjang sendiri nih...
ReplyDeleteapalagi klo mau dirunut dari hukum nyanyi dalam islam.. :)
intinya, jangan gegabah mengambil hukum...
kalo gitu, cari jalan amannya aja deh... nyanyi di kamar mandi aza..huehe...^_^
ReplyDeleteTanya :
ReplyDelete1. Yang disebut ulama itu yang bagaimana?
2. Mengapa ada ulama tingkat dunia, tingkat regional (asean dll, misalnya), ulama level negara, provinsi, kabupaten kecamatan, kampung dll.
3. Siapa yang memiliki wewenang menetapkan seseorang itu adalah ulama atau bukan ulama?
4. Bila para "ulama" beda pendapat, terus yang dipegang yang mana? Misalnya Imam Hanafi ttg air mudhaf, beda pendapat dengan 3 imam yang lain. Yang mana yang dijadikan pegangan?
5. Kalo tidak salah fatwa ulama arab saudi, melarang wanita mengemudi mobil. Apakah fatwa tersebut sudah disepakati oleh seluruh ulama? Dan kembali ke pertanyaan no. 2 : Siapa yang memiliki wewenang menetapkan bahwa seseorang itu ulama atau bukan ulama?
Pendapat ulama atau fatwa atau ijtihad, pada dasarnya adalah proses berfikir untuk memahami suatu masalah dan menetapkan hukum berdasarkan AQ dan AH. Apakah proses tersebut sudah final dan tidak mungkin ada revisi bila ternyata diperoleh hujjah yang lebih sahih?
Bila jawabnya adalah final, berarti pintu ijtihad sudah tertutup. Siapa yang memiliki wewenang membuka atau menutup pintu ijtihad?
Afwan, jazakallahu khairan katsiran
Afwan, tanpa mengurangi rasa hormat akan dedikasi, mujahadah dan istiqomahnya para ulama, smoga Allah merahmati dan memberkahinya, bukankah ulama itu manusia biasa juga, tidak luput dari khilaf?
ReplyDeleteBukankah para Imam Madhzhab mengatakan dalam satu nada, yang isinya kurang lebih "Bila didapatkan hadis/hujjah yang lebih kuat dari yang aku berikan, maka buanglah pendapatku, ambillah pendapat mereka". Imam Syafi'i ra bahkan mengatakan bila beliau sudah meninggal, maka beliau akan ikut pendapat/hujjah yang lebih kuat dari hujjah beliau sendiri?
Inti dari apa yang saya sampaikan disini adalah, hendaklah beragama itu mengikuti AQ dan AH, bukan mengikuti ulama. Ulama berperan untuk menunjukkan dalil dan tata cara mengambil kesimpulan dari berbagai dalil. Bila kita sependapat dengan pendapat ulama tersebut, hendaknya bukan dikedepankan pendapat ulama, tapi kedepankanlah darimana ulama tersebut mengambil pendapat. Yaitu dari analisa AQ dan AH. Sehingga dengan demikian, kita beragama adalah bersandarkan pada AQ dan AH, bukan dari ulama, kyai atau ustadz.
@maxson1962: Asif, pertanyaan antum tidak akan ana jawab seluruhnya, tapi poin utamanya saja, krn bs panjang ke pembahasan ushul fiqh, kaidah fiqh, dll yg tentu saja tdk mungkin dibahas di sini.
ReplyDeleteSumber hukum islam yang utama adalah al Quran dan Hadis, Namun selain itu jumhur ulama dari masa ke masa menyepakati ijma' dan qiyas sebagai sumber hukum islam setelah Q dan H.
Apakah kita mau menyelisihi jumhur ulama?
Namun apa yg dihasilkan dari fatwa ulama tentu tidak final, karena fatwa tidak jarang terkait dengan tempat dan waktu. Itulah perbedaannya dengan halal/haram yg sumbernya langsung Q dan H.
Klo ana mengatakan ulama bisa diikuti, bukan berarti mendahulukan pendapat mereka di atas Q dan H. Namun selama pendapat mereka sesuai dg Q dan H, maka kita lebih baik ikut mereka daripada memakai pendapat sendiri yg mgkn hanya berpatokan pada terjemahan. Padahal memahami Q dan H tidak cukup hanya dengan mengerti bahasanya (apalagi terjemahannya).
Asif, klo mau diskusi ini dilanjutkan tafadhdhol lewat personal message, krn sudah keluar dari topik postingan ini. Klo masih memaksa dilanjutkan di sini, mgkn ana akan hapus komentarnya. Asif.