Isbal adalah memanjangkan pakaian (celana, sarung) sampai di bawah mata kaki. Dan sebagian ulama mengharamkannya bagi laki2.
Namun pendapat ini belum mutlak, karena setidaknya ada 2 Imam besar yang tidak mengharamkannya secara mutlak. Selain itu pendapat boleh isbal kalau tanpa khuyalaa’ (sombong) juga adalah pendapat jumhur dari madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Demikian juga Ibnu Taimiyyah.
Dari kalangan kontemporer juga ada. Syaikh Khalid bin Abdullah Al-Mushlih yang termasuk jejeran tetua dari para murid Syaikh al- Utsaimin sekaligus menantu beliau dan salah seorang dari 4 orang murid beliau yang berhak menggantikan beliau di majelisnya pun berpendapat demikian (Syaikh al-Utsaimin sendiri termasuk yang mengharamkan secara mutlak).
Berikut ini adalah kutipan (dengan editan) dari tulisan di eramuslim
------------ --------- --------- --------- --------- ---------
Sedangkan pendapat para ulama yang tidak mengharamkan isbal asalkan bukan karena riya, di antaranya adalah pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang yang dengan sukses menulis syarah (penjelasan) kitab Shahih Bukhari. Kitab beliau ini boleh dibilang kitab syarah yang paling masyhur dari Shahih Bukhari. Beliau adalah ulama besar dan umat Islam berhutang budi tak terbayarkan kepada ilmu dan integritasnya.
Ketika beliau menerangkan hukum atas sebuah hadits tentang haramnya isbal, beliau secara tegas memilah maslah isbal ini menjadi dua. Pertama, isbal yang haram, yaitu yang diiringi sikap riya'. Kedua, isbal yang halal, yaitu isbal yang tidak diiringi sikap riya'. Berikut petikan fatwa Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
وفي هذه الأحاديث أن إسبال الإزار للخيلاء كبيرة, وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا, لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا, فلا يحرم الجر والإسبال إذا سلم من الخيلاء
Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa isbal izar karena sombong termasuk dosa besar. Sedangkan isbal bukan karena sombong (riya'), meski lahiriyah hadits mengharamkannya juga, namunhadits- hadits ini menunjukkan adalah taqyid (syarat ketentuan) karena sombong. Sehingga penetapan dosa yang terkait dengan isbal tergantung kepada masalah ini. Maka tidak diharamkan memanjangkan kain atau isbalasalkan selamatdari sikap sombong. (Lihat Fathul Bari, hadits 5345)
Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah adalah ulama besar di masa lalu yang menulis banyak kitab, di antaranya Syarah Shahih Muslim. Kitab ini adalah kitab yang menjelaskan kitab Shahih Muslim. Beliau juga adalah penulis kitab hadits lainnya, yaitu Riyadhus-Shalihin yang sangat terkenal ke mana-mana. Termasuk juga menulis kitab hadits sangat populer, Al-Arba'in An-Nawawiyah. Juga menulis kitab I'anatut-Thalibin dan lainnya.
Di dalam Syarah Shahih Muslim, beliau menuliskan pendapat:
وأما الأحاديث المطلقة بأن ما تحت الكعبين في النار فالمراد بها ما كان للخيلاء, لأنه مطلق, فوجب حمله على المقيد. والله أعلم
Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwa semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlak, maka wajib dibawa kepada muqayyad, wallahu a'lam.
والخيلاء الكبر. وهذا التقييد بالجر خيلاء يخصص عموم المسبل إزاره ويدل على أن المراد بالوعيد من جره خيلاء. وقد رخص النبي صلى الله عليه وسلم في ذلك لأبي بكر الصديق رضي الله عنه, وقال, " لست منهم " إذ كان جره لغير الخيلاء
Dan Khuyala' adalah kibir (sombong). Dan pembatasan adanya sifat sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan isbal) pada kainnya, bahwasanya yang dimaksud dengan ancaman dosa hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi Shallalahu alaihi wasallam telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra seraya bersabda, "Kamu bukan bagian dari mereka." Hal itu karena panjangnya kain Abu Bakar bukan karena sombong.
Maka klaim bahwa isbal itu haram secara mutlak dan sudah disepakati oleh semua ulama adalah klaim yang kurang tepat. Sebab siapa yang tidak kenal dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumallah. Keduanya adalah begawan ulama sepanjang zaman. Dan keduanya mengatakan bahwa isbal itu hanya diharamkan bila diiringi rasa sombong.
Maka haramnya isbal secara mutlak adalah masalah khilafiyah, bukan masalah yang qath'i atau kesepakatan semua ulama. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan itulah realitasnya.
Pendapat mana pun dari ulama itu, tetap wajib kita hormati. Sebab menghormati pendapat ulama, meski tidak sesuai dengan selera kita, adalah bagian dari akhlaq dan adab seorang muslim yang mengaku bahwa Muhammad Shallalahu alaihi wasallam adalah nabinya. Dan Muhammad itu tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq.
Pendapat mana pun dari ulama itu, boleh kita ikuti dan boleh pula kita tinggalkan. Sebab semua itu adalah ijtihad. Tidak ada satu pun orang yang dijamin mutlak kebenaran pendapatnya, kecuali alma'shum Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam. Selama seseorang bukan nabi, maka pendapatnya bisa diterima dan bisa tidak.
Bila satu ijtihad berbeda dengan ijtihad yang lain, bukan berarti kita harus panas dan naik darah. Sebaliknya, kita harus mawas diri, luas wawasan dan semakin merasa diri bodoh. Kita tidak perlu menjadi sok pintar dan merasa diri paling benar dan semua orang harus salah. Sikap demikian bukan ciri thalabatul ilmi yang sukses, sebaliknya sikap para juhala' (orang bodoh) yang ilmunya terbatas.
Semoga Allah selalu menambah dan meluaskan ilmu kita serta menjadikan kita orang yang bertafaqquh fid-din, Amin Ya Rabbal 'alamin.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
----------------------------------------------
Terimakasih banyak penjelasannya Ustadz. Jadi bertambah pengetahuan nie... :)
ReplyDeletesama-sama, ukht Qq...
ReplyDeleteJazakallah Akhy atas pencerahannya...
ReplyDeleteSemoga menjadi ilmu bermanfaat...
waiyyaka, akhy.. :)
ReplyDeleteamiin.